YANG TIDAK TERSELESAIKAN
WAJAH
MALAIKAT?
Lebih baik mendekap di dalam
penjara dari pada harus mengalami kesusahan dalam memejamkan mata dan
kehilangan mimpi
Kehilangan mimpi pada setiap malam
merupakan ketersiksaan bagi diri. Mata
tidak menemukan kantuk, batin selalu terikat dengan wajah seorang
malaikat, dan pikiran masih terjebak dalam labirin kemarin.Semuanya berawal
ketika wajah malaikat mu mulai menjalin hubungan intim dengan batin. Pada
setiap pagi engkau selalu berusaha untuk bercinta, ketika malam terjerat oleh
waktu engkau mengalami orgasme sedangkan saya selalu berusaha untuk mencapai
tingkatan orgasme.
Subuh masih
terlelap bersama sejumput matahari yang merupakan hasil persetubuhan antara
senja dan pagi, udara pun masih lembab sehingga kucing dan tikus malas untuk berebut
makanan di tempat sampah. Ketika semuanya itu sempat diproyeksi oleh dinding
kamar, aku sedang tersudut di antara kabut yang membutakan penglihatan dan
masih mencari wajah mu dalam labirin senja. Sementara itu, jejak dari kenangan tertambat pada waktu yang
hanya berusaha untuk menggurui ku.
Aku masih tersesat dalam labirin senja, masih juga mencari wajah mu sedangkan keheningan yang coba dihadirkan oleh rasa tidak mampu menggandeng waktu untuk bersama-sama berseru kepada matahari.
Aku masih tersesat dalam labirin senja, masih juga mencari wajah mu sedangkan keheningan yang coba dihadirkan oleh rasa tidak mampu menggandeng waktu untuk bersama-sama berseru kepada matahari.
Secret Garden yang sedang
mengunjungi Mr. Winamp mampu
membungkam subuh dengan instrumennya. Mereka juga mengadili malam atas
tingkahnya kepada ku. Hampir saja mereka menggantung malam namun waktu tidak
memperkenankannya sebab pagi sudah menyiapkan hidangan untuk malam. “Ah…waktu!
Lihatlah penderitaan yang disebabkan oleh malam terhadap diriku.” Aku adalah
hari ini yang masih memangku kemarin, aku adalah kemarin yang belum
terselesaikan, dan aku adalah esok yang terus mengenakan pakaian kemarin. Sudah
cukup aku mengoceh malam dan diriku. Sekarang saatnya mencari penjelasan atas
segala ocehan di atas.
Ketersudutan di
antara kabut, ketersesatan dalam labirin senja, dan ocehan terhadap malam dan
diri merupakan hasil dari kehadiranmu dalam rupa malaikat di sekitar pikiran
dan rasa ku. Mengapa wajah malaikat mu
menjadi penyebabnya? Sebuah pertanyaan dari batin ku ini tidak dapat
menemukan jawabnya. Ok! Batinku begitu lemah ketika berhadapan dengan wajah
malaikat mu namun engkau jangan mengira bahwa saya mengaku kalah.
Sekarang dengan
bantuan dari jiwa dan pikiran, aku akan mengadakan perhitungan dengan mu.
“kemarilah malaikat! Kita bertarung layaknya Achilles dan Hector dalam
film Troy, mungkin itu terlalu klasik
bagi mu atau sudah ketinggalan zaman.
Kalau begitu, aku mengundang mu untuk beradu pendapat sambil mendengarkan lagu Aku yang Tersakiti yang dinyanyikan oleh
Judika.” Atau kegiatan semacam ini
juga menurutmu terlalu melankolis dan tidak berintelektual? Dari pada saya
hanya berusaha untuk mencari cara untuk mengundangmu dan engkau juga selalu
mempunyai alasan untuk menghidari pertemuan kita, lebih baik saya mengajukan
persoalan ini kepada pengadilan. Bukankah hal ini akan membuka aib ku di
hadapan umum? Lantas, bagaimana cara ku
untuk dapat menyelesaikan persoalan ini?
Subuh terlihat
begitu sibuk dalam mempersiapkan jamuan untuk pagi yang sebentar lagi akan
muncul. Keributan subuh semakin membuyarkan konsentrasi terhadap persoalan ini,
bahkan pikiran pun mulai kacau dengan kantuk yang begitu berat di pelupuk mata.
Wajah malaikat mu masih tetap membayangi ku. Engkau mencoba merayu udara yang
berkeliaran di dalam kamar agar mengambil persoalan ini dari pikiran. Lewat
tarikan nafas engkau memasuki tubuh, dengan cepat bergerak ke atas kepala.
“Bedebah!
Udara dan Faust[1]
dapat dengan mudah kau perdaya sehingga kau berpikir bahwa aku juga seperti
mereka. Kau sudah masuk ke dalam kepala ku tetapi tidak bisa kau hilangkan
persoalan ini dari otak ku. Jangan kau pikir juga bahwa otak yang kau masuki
itu sama seperti batin ku yang begitu lemah ketika engkau menunjukan wajah
malaikat mu kepadanya.”
[1]Tokoh utama dalam film Faust, dimana ia mengikat perjanjian untuk
menjadi pelayan iblis setelah iblis mengembalikan usia mudanya dan memberikan
segala kesenangan duniawi,(Faust adalah puisi Goethe yang berkisah tentang
iblis yang menggoda manusia)
KITA YANG TERJEBAK
DALAM KEMERDEKAAN
Jam kerja di kantorku
berahkir pada pukul 16.00, pada pukul 16.15 aku keluar dari pintu depan kantor
dan bergegas ke arah jalan umum. Ketika berada di halaman kantor yang hanya
berukuran 20×25 meter, aku merasakan sensasi yang luar biasa kerena terbebaskan
dari kungkungan ruang kerja yang berukuran 2×2 meter. Bagi ku berada dalam
ruang kerja sama seperti berada dalam kamp konsentrasi pada zaman Nazi. Memang
aku sangat tidak menyukai suatu
keterikatan terhadap ruang dan keadaan. Berada dalam keterikatan ruang
dan keadaan berarti menghilangkan kebebasanku sebagai pribadi yang sangat
menghedaki sebuah kelepasan serta kreatifitas yang selalu aku banggakan semasa
kuliah terpaksa harus kubunuh. Ini adalah sebuah derita yang harus kutanggung
selama berada dalam ruangan tersebut. Ini juga merupakan pilihan untuk dapat
bertahan dan meneruskan hidup. Di sini tidak ada ruang bagi kreatifitas sebab tuntutan
kerja sangat tidak menghendaki sebuah perubahan dalam aturan yang telah
disahkan.
Lalu lintas di jalan begitu
ramai-maklumlah orang-orang pada pulang dari tempat kerja(sehingga untuk
menyeberangi jalanpun aku harus bersikap sangat hati-hati). Kenyataan ini
menyadarkan aku bahwa negara ini belum sepenuhnya mengalami kemerdekaan. Ada
beberapa alasan yang dapat aku kemukakan untuk pernyataan di atas. Pertama; Keadaan
lalu lintas yang membuat kita harus bersikap waspada baik dalam menyetir
kendaraan atau pada saat menyeberangi jalan, ini sangat mirip dengan keadaan
pada waktu perang kemerdekaan, dimana orang-orang harus bersikap ekstra waspada terhadap serangan musuh
yang datang secara tiba-tiba tanpa ada kompromi terlebih dahulu. Kedua; lalu
lintas yang tidak teratur akan mengingatkan kita pada zaman perang, dimana
orang-orang harus berlari kian-kemari untuk berlindung dari serangan
musuh-mungkin ini hanya alasan yang kurang masuk akal-tetapi lalu lintas yang
sangat tidak teratur mencerminkan bahwa negara ini masih diperbudak oleh
peradaban dan perkembangan teknologi, negara ini tidak dapat menjadi tuan atas
peradaban dan perkembangan teknologi. Kenyataan lalu lintas yang begitu buruk
kemudian aku menghubungkan dengan keterikatan pada ruang kerja dapat memperkuat
tesisku tentang negara yang belum merdeka. Memang benar bahwa keberadaan dalam
keterikatan ruang kerja dan jam kantor merupakan bukti kuat untuk menyatakan
bahwa negara masih berada masa-masa penjajahan. Bagiku kemerdekaan yang
diserukan hanyalah sebuah fatamorgana. Negara ini masih tetap berada dalam
keterjajahan. Mungkin spekulasi yang diajukan sangat lemah sebab keterikatan
tersebut merupakan sebuah aturan yang harus dijalankan jika ingin bertahan
hidup. Menjadi keprihatinan adalah keterikatan yang tidak memberikan kesempatan
bagi kebebasan untuk bekreatif dan berkreasi. Segalanya harus berdasarkan
aturan yang telah ditetapkan, jika tidak menurutinya maka akan jadi
gelandangan.
Hampir setengah jam aku berusaha untuk menyeberangi jalan-mungkin aku
orang yang tidak sabar dan sangat tidak suka terhadap antrian dan
desakan-desakan dalam menggunakan jembatan penyeberangan. Karena sikap inilah
aku sering kali harus terlibat dalam adu mulut dengan para sopir, baik angkutan
umum maupun mobil-mobil pribadi-ketika jalanan agak sepih aku segera berlari
menuju ke seberang jalan. Tiba di seberang jalanpun aku harus menunggu
kendaraan, padahal begitu banyak kendaraan yang lewat khususnya kendaraan
pribadi yang hanya bermuatan satu atau dua orang. Mengapa mereka yang berada
dalam mobil pribadi itu tidak dapat berhenti dan menawarkan tumpangan kepada
sesamanya yang sedang menanti kendaraan di tepi jalan. Mungkin saja salah satu
dari orang-orang tersebut mempunyai tujuan yang sama dengan mereka. Lagi-lagi
topik mengenai kemerdekaan bergelayut di benak. Bagaimana mungkin orang-orang
yang menghuni negara ini merasakan kemerdekaan, atau mereka tidak menyadari
bahwa mereka masih dalam masa penjajahan? Apakah orang-orang telah mengalami
kebutaan dan ketulian? Kembali pada para pemilik mobil-mobil pribadi yang
begitu banyak berserakan di jalanan. Mereka berlalu tanpa berpikir mengenai
orang-orang di pinggiran jalan. Sebuah sikap yang sangat mirip dengan sikap
kaum kolonial pada zaman penjajah yang berlalu di hadapan para jajahan dengan
sikap angkuh. Yang lebih aneh lagi; para pemilik kendaraan pribadi terkadang
mengumpat atau mengeluarkan cacian ketika jalanan berada dalam kemacetan.
Mereka merasa bahwa jalanan yang dilalui adalah milik pribadi, mungkin disebabkan
oleh besarnya pajak yang telah mereka bayar jika dibandingkan dengan para
pengguna kendaraan umum. Pemikiranku dikejutkan dengan suara seorang serak
kondektur angkutan umum yang menyebabkan nalar harus mengalami ketakutan sebab
pikirnya bahwa ada seorang serdadu kolonial yang hendak menendanginya.
Aku segera menaiki kendaraan-yang
kondekturnya telah mengagetkanku-karena kendaraan tersebut akan membawaku
kembali ke rumah. Aku harus berdesak-desakan dengan para penumpang untuk dapat
memperoleh tempat meskipun harus berdiri. Bau matahari yang bercampur dengan
deodorant atau parfum sangat terasa. Ditambah dengan keringat yang mulai
membasahi tubuh dari setiap penumpang, keadaan yang sangat menyiksa belum lagi
para pengemis dan pengamen yang berhilir mudik. Suatu pemandangan yang semakin
menguatkan pemikiranku mengenai keterjajahan. Benarkah kami masih berada pada
zaman penjajahan? Aku melihat ketersiksaan di pelupuk mata dari setiap
penumpang, ketersiksaan dari beratnya pekerjaan, ketersiksaan dari desakan-desakan
penumpang. Memang kami belum mengalami kemerdekaan. Aku kembali memikirkan
keadaan para jajahan yang kembali dari pekerjaan, entah membangun jalan, entah
membuka lahan bagi pertanian dan perkebunan, entah membangun rumah atau gedung
bagi kepentingan kolonial. Ekspresi mereka sangat mirip dengan ekspresi dari
para penumpang pada saat ini. Selain itu, di samping kendaraan yang aku
tumpangi, berhilir mudik kendaraan-kendaraan pribadi yang bergerak tanpa
menyiratkan derita, dengan keadaan mobil yang mengkilap dan bunyi mobil yang
halus. Sangat berbanding terbalik dengan bus yang kutumpang, yang berada dalam
kondisi kritis dan menjelang ajal.
Bus yang kutumpangi berhenti di dekat sebuah Masjid untuk menaikan
beberapa penumpang, padahal tidak ada lagi tempat untuk meletakan penumpang-penumpang
tersebut. Dari Masjid terdengar suara adzan maghrib yang diperdengarkan lewat
alat pengeras suara. Pada saat yang sama tetes-tetes air mata membasahi pipiku.
Aku berusaha untuk menyembunyikannya dari para penumpang. Dengan segera
kutundukan kepala dan mengusap air mata yang membasahi wajahku. Sesampainya air
mata bercucuran disebabkan oleh pemikiran bahwa suara adzan maghrib yang penuh
dengan kedamaian dan ketentraman sangat berbanding terbalik dengan keadaan di
sekitarnya. Inikah negeri yang telah merdeka? Bagaimana mungkin suara adzan
begitu damai dan tentram(merdeka) sedangkan di sekitarnya dipenuhi dengan
kebisingan? Air mata masih tetap membanjiri wajah sehingga aku memutuskan untuk
turun dari mobil agar para penumpang tidak berpikir bahwa aku adalah orang
gila.
Hanya suara
angin
yang terdengar
SENJA
YANG HILANG
Kabut
tipis menggantung di sekitar ranting-ranting kamboja yang mulai rapuh, aku
terduduk sebagai seorang bisu. Menatap ke arah taman yang mengenakan selimut
ungu. Di sana aku menemukan seseorang
yang sedang menangis. Aku
menatap seseorang dalam tangisan, kami tidak sempat menyatu karena udara telah
kehilangan aroma musimnya. Ketika
sedang mengkonsentrasikan diri untuk mampu Hanya tatapan di tengah
keramaian dan hiruk-pikuk angin.
Aku
berusaha merapatkan diri dengannya,
mencarinya untuk kembali melakukan kegiatan
bertatapan. Di sepanjang lorong berpagar bambu, di antara terik yang
memantulkan bayangan akasia aku berusaha untuk menemukannya. Di antara orang-orang
yang berkelebat secara cepat layaknya kecepatan pesawat supersonic aku berusaha
untuk menemukan sosoknya. Berusaha sekuat tenaga untuk menyibak jaring
laba-laba yang mungkin saja menyembunyikan dirinya. Menguatkan penglihatan pada kegelapan
yang pekat namun hanya tangisan yang tergiang di gendang telingaku. Tangisan terdengar dengan jelas, memasuki
setiap ruangan yang disediakan oleh kedua telinga ini. Ia menjadi penguasa
tunggal atas seluruh aktivitas dari kedua telinga sehingga tidak ada
suara-suara lain yang diijinkan untuk berbagi tempat dengannya.
Aku
tidak mampu untuk berbagi tatapan dengan orang lain, bukan keegoisan yang
menjadi sebabnya, bukan kesombongan yang hendak ditunjukan, bukan juga
kerendahan yang ditemukan pada diri yang lain. Ketidakkmampuannya disebabkan
oleh orang lain tidak mampu melakukan kegiatan bertatapan. Mungkin mereka dapat
melakukannya namun bukan kegiatan
bertatapan seperti yang sedang kuinginkan. Ketika mereka
melakukannya maka akan ada pembicaraan yang menyusulnya. Pembicaraan yang
dilandaskan pada kegiatan bertatapan.
Lagi-lagi
aku mencari dia yang
menyembulkan tangisan. Kali ini, aku mencarinya di berbagai gedung
bertingkat, di berbagai pusat keramaian kota, di taman-taman yang dibangun
untuk memuaskan dahaga yang dilahirkan oleh beberapa setan atau yang diendapkan
dari malaikat-malaikat cahaya. Orang-orang
yang berpapasan denganku
mengeluarkan berbagai perbendaharaan kata yang menunjukan bahwa aku adalah
orang aneh atau orang gila.
Sesampainya
mereka mengeluarkan perbendaharaan kata tersebut dikarenakan oleh pakaian
compang-camping yang melekat di
tubuh ini. Haruskah mempersalahkan mereka? Apakah mereka layak dibenci karena
menunjukan ekspresi wajah dan ucapan yang merendahkan martabat kemanusiaanku?
Semakin mencurahkan seluruh kemampuan untuk menemukan
wajahnya, semakin pula bersembunyi
Kepada
aku dalam tangisan yang dapat melakukan kedua kegiatan secara bersama-sama
tanpa menghilangkan esensi dari kedua aktifitas tersebut
Mempertemukan
kembali kelaluan yang sempat menghilang dari segenap ingatan dan rasa. Sebuah
kelaluan, dimana gelak tawa bercampur dengan tangisan. Tentu saja ingatan tidak
dapat menyimpan kenangan yang kurang jelas seperti ini.
HIRUK-PIKUK SUBUH MERUPAKAN BUKTI MALAM YANG SELALU TERJAGA
Saya masih
belum memahami tentang wanita yang berjalan dengan gontai sambil menjunjung
sebakul nasi di pinggir sebuah kali pada subuh yang begitu senyap. Saya juga
masih menyimpan beberapa pertanyaan seputar dentingan kerikil yang seakan- akan
mempertontonkan orkestra kepada segenap angin yang sempat singgah di antara
mereka. Lagi-lagi saya dibuat bingung dengan langkah kaki seorang laki-laki
paruh baya yang sangat mirip
dengan gerakan kecoak ketika dikejar oleh seorang anak kecil dengan sapu ijuk. Memasuki labirin yang tercipta dari
perkawinan antara malam dan pagi, tersesat di sekitar simphoni kerikil-kerikil
tajam, menunjukan ekspresi kebingungan laiknya dr. Bill Harford (Tom Cruise)
dalam film Eyes Wide Shut ketika ia
diperintahkan untuk menelanjangi diri di hadapan umum. Mengapa subuh
mempertontokan semua ini kepada saya tanpa memberikan penjelasan secara
terperinci?
Aku menyaksikan semua kegiatan yang
dipertontonkan oleh subuh meskipun tanpa memiliki penjelasan yang cukup atas
semua kegiatan ini. Seandainya Veronika[1]
berada di sini maka saya sudah diajak untuk meninggalkan kegiatan yang
membingungkan ini. Mungkin ia akan membawa saya ke dalam gereja dan memainkan Soneta 8 nya Mozart. Mengapa subuh
mempertontonkan semua ini kepada saya? Saya
adalah senja yang dengan terpaksa berpamitan karena malam begitu terburu-buru
untuk menghadirkan gelap sedangkan subuh merupakan mahluk asing yang datang dan
mengambil mimpi indahku. Semua yang dipertontonkan subuh kepada saya-tentang
wanita dengan bakul nasi, tentang dentingan kerikil, tentang langkah gontai
lelaki paruh baya-belum dapat dicerna dengan baik oleh pikiran. Subuh yang
datang bersama dengan keributan di jalanan harus memberikan penjelasan kepada
saya. Membiarkan pertanyaan bercokol dalam kepala akan mendatangan rasa sakit
dan pikiran akan menemukan kekacauan. Pernah terlintas untuk meludahi dan
memaki subuh namun tidak sampai terlaksana karena usaha ini akan berujung pada
kesia-siaan.
Pukul 04.00 saya belum juga beranjak dari
beranda di lantai dua. Mata tidak dapat dirayu oleh kantuk, pikiran selalu
berusaha untuk berbicara dengan berbagai hal yang sempat berkomunikasi
dengannya.
Komentar