Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

Mengapa senja memanggil Iras kembali ke kamar dengan potret perempuan yang menggantung di dinding? Jawabnya masih misteri. Semisteri arti tatapan sang perempuan dalam bingkai. Seperti senja-senja lainnya, Iras mulai melakoni ritual untuk menelisik dengan serius potret hitam putih itu. Pastinya, demi menguak tanya tentang pesan yang tersembunyi di balik sorot mata sang perempuan. Pada momentum inilah, tak bosan-bosan, Ira kembali mencari sumber tepatnya literatur dalam ingatan tentang maksud maupun arti sebuah tatapan dalam potret. Sesungguhnya sudah cukup banyak literatur tercerap dalam batok kepalanya. Mulai dari berbahasa asing maupun bahasa ibunya. Toh, seperti yang sudah-sudah berahkir dengan kebingungan. Iras bukan pribadi yang cepat menyerah. Meski 'kerja keras masih mengingkari hasil', ia terus mencari upaya untuk menemukan jawab. "Sampai kapan?" Begitulah kecamuk suara dalam dirinya. "Entahlah." Iras menjawabnya. (Bersambung)

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (Empat)

Dia itu perempuan bukan wanita.  Iras masih memandang potret hitam putih di kamarnya. Setiap senja, usai menghidangkan kopi bersama pisang goreng kepada ayah, pasti Iras kembali ke kamar untuk melihat wajah di bingkai itu.  Wajah perempuan yang entah kenapa tidak asing baginya. Ya, wajah perempuan bukan wanita yang tampak di sana. Sedari beradu tatap, Iras menyadari kalau sosok hitam putih di dinding kamarnya mengusik kesadarannya tentang pemaknaan perempuan dan wanita. Adalah sorot mata itu yang terus menarik Iras untuk mencari jawab perihal perbedaan antara perempuan dan wanita. Tentunya, mengganggu apalagi Iras kala itu masih kecil. Sempat, ia meminta penjelasan ayahnya. Toh hanya umpatan yang terberi.  "Anak kemarin sore mau tanya hal yang tidak penting. Lebih baik kau sapu halaman rumah dan sediakan kopi." Begitulah ayahnya 'membunuh' rasa ingin tahu Iras.  Dibungkam hanya membuat penasaran. Dan Iras terus mengaduk pikiran demi sebuah jawaban atas pertan