PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (Empat)
Dia itu perempuan bukan wanita.
Iras masih memandang potret hitam putih di kamarnya. Setiap senja, usai menghidangkan kopi bersama pisang goreng kepada ayah, pasti Iras kembali ke kamar untuk melihat wajah di bingkai itu.
Wajah perempuan yang entah kenapa tidak asing baginya. Ya, wajah perempuan bukan wanita yang tampak di sana.
Sedari beradu tatap, Iras menyadari kalau sosok hitam putih di dinding kamarnya mengusik kesadarannya tentang pemaknaan perempuan dan wanita. Adalah sorot mata itu yang terus menarik Iras untuk mencari jawab perihal perbedaan antara perempuan dan wanita. Tentunya, mengganggu apalagi Iras kala itu masih kecil. Sempat, ia meminta penjelasan ayahnya. Toh hanya umpatan yang terberi.
"Anak kemarin sore mau tanya hal yang tidak penting. Lebih baik kau sapu halaman rumah dan sediakan kopi." Begitulah ayahnya 'membunuh' rasa ingin tahu Iras. Dibungkam hanya membuat penasaran. Dan Iras terus mengaduk pikiran demi sebuah jawaban atas pertanyaan itu.
Seiring usia menjalarkan pengetahuan, Iras perlahan menyingkap tabir tanya. Dari bacaan di bangku sekolah, dari tontonan di teve, dari perkenalannya dengan yang lain, Iras mencipta jawaban untuk dirinya.
Iras masih memandang potret hitam putih di kamarnya. Setiap senja, usai menghidangkan kopi bersama pisang goreng kepada ayah, pasti Iras kembali ke kamar untuk melihat wajah di bingkai itu.
Wajah perempuan yang entah kenapa tidak asing baginya. Ya, wajah perempuan bukan wanita yang tampak di sana.
Sedari beradu tatap, Iras menyadari kalau sosok hitam putih di dinding kamarnya mengusik kesadarannya tentang pemaknaan perempuan dan wanita. Adalah sorot mata itu yang terus menarik Iras untuk mencari jawab perihal perbedaan antara perempuan dan wanita. Tentunya, mengganggu apalagi Iras kala itu masih kecil. Sempat, ia meminta penjelasan ayahnya. Toh hanya umpatan yang terberi.
"Anak kemarin sore mau tanya hal yang tidak penting. Lebih baik kau sapu halaman rumah dan sediakan kopi." Begitulah ayahnya 'membunuh' rasa ingin tahu Iras. Dibungkam hanya membuat penasaran. Dan Iras terus mengaduk pikiran demi sebuah jawaban atas pertanyaan itu.
Seiring usia menjalarkan pengetahuan, Iras perlahan menyingkap tabir tanya. Dari bacaan di bangku sekolah, dari tontonan di teve, dari perkenalannya dengan yang lain, Iras mencipta jawaban untuk dirinya.
'Eureka' begitulah Iras pertama kali menguak rasa penasarannya. Meski berhasil mengurainya, toh tiada berkesudahan tanya memilin dirinya. Kenapa senja menarik Iras menatap wajah perempuan tanpa riasan kosmetik itu?
Selarik tanya kembali mencipta segumpal gundah di benak gadis tak beribu.
"Ah....biarlah tanya merambat" umpat Iras.
Dari beranda samping rumah, ayah bernyanyi. Suaranya kacau balau. Kata orang "tiada harmonisasi". Mana ayah peduli. Terus saja ia bernyanyi. Malahan tambah keras suaranya. Sedangkan Iras tak ambil pusing apalagi mengumpat kebiasaan ayahnya.
Baginya, inilah saat indah bertukar tatap dengan perempuan dalam bingkai. Hanya bertatap. Iras tak ingin mengutas monolog sebab tatapan lebih menguntai kedalaman isi hatinya. (Bersambung)
Komentar