WANITA BERMATA SAYU (III)
Cukup lama, aku tidak memandang mata itu. Terahkir kali kami bertemu, di saat gerimis memotong lembayung senja.
Udara lembab menguap dari tumpukan sampah yang berjejal di pinggir kali mati. Wanita ku, Pemilik mata sayu, masihkah suasana senja itu membekas dalam ingatan? Adakah wajah sendu Si penjaja gorengan keliling rebah di ribaan hari mu ?
Aku hanya menduga. Sebatas rekaan seorang pengkhayal labil yang seharinya duduk di beranda rumah sekedar menghabiskan sisa harinya. Mungkin kau sedang memisahkan semua kenangan, entah tentang kita atau tentang yang lain. Sebuah praduga yang sangat tidak logis tentunya. Seandainya kau membaca tulisan ini, aku yakin kau akan terpingkal atau tersenyum sinis. Baiklah. kubuat lebih serius tapi tidak terkesan narsis atau sok pamer.
Terahkir kita ketemu di simpang tiga di bawah pohon ketapang tua itu. Kau mengenakan kaos tshirt berwarna biru langit, berkacamata dan rambut ikal mu digerai angin panas musim kemarau. Kala itu, kita tidak bercakap lantaran kedua orangtua mu berada di samping mu. Aku hanya mampu menatap lekat kedua bola matamu. Bagi ku, percakapan akan menimbulkan kesan gombal di benak kedua orang tuamu. Mereka mungkin akan segera menyuruh ku pergi dari tempat tersebut.
Bagaimana kabar mu sekarang bermata sayu? Masihkah kau mengenakan kacamata itu?
Bagi ku, kacamata itu mengaburkan keindahan kedua bola matamu. Saran ku, sebaiknya kau copot saja kacamata itu.
Kalau kau keberatan atau masih ragu, biar aku yang membantu mu untuk melepas kacamata tersebut.
Udara lembab menguap dari tumpukan sampah yang berjejal di pinggir kali mati. Wanita ku, Pemilik mata sayu, masihkah suasana senja itu membekas dalam ingatan? Adakah wajah sendu Si penjaja gorengan keliling rebah di ribaan hari mu ?
Aku hanya menduga. Sebatas rekaan seorang pengkhayal labil yang seharinya duduk di beranda rumah sekedar menghabiskan sisa harinya. Mungkin kau sedang memisahkan semua kenangan, entah tentang kita atau tentang yang lain. Sebuah praduga yang sangat tidak logis tentunya. Seandainya kau membaca tulisan ini, aku yakin kau akan terpingkal atau tersenyum sinis. Baiklah. kubuat lebih serius tapi tidak terkesan narsis atau sok pamer.
Terahkir kita ketemu di simpang tiga di bawah pohon ketapang tua itu. Kau mengenakan kaos tshirt berwarna biru langit, berkacamata dan rambut ikal mu digerai angin panas musim kemarau. Kala itu, kita tidak bercakap lantaran kedua orangtua mu berada di samping mu. Aku hanya mampu menatap lekat kedua bola matamu. Bagi ku, percakapan akan menimbulkan kesan gombal di benak kedua orang tuamu. Mereka mungkin akan segera menyuruh ku pergi dari tempat tersebut.
Bagaimana kabar mu sekarang bermata sayu? Masihkah kau mengenakan kacamata itu?
Bagi ku, kacamata itu mengaburkan keindahan kedua bola matamu. Saran ku, sebaiknya kau copot saja kacamata itu.
Kalau kau keberatan atau masih ragu, biar aku yang membantu mu untuk melepas kacamata tersebut.
Komentar