MALAM DI KAMAR CAHAYA
Kendaraan
umum masih terpakir rapi di sepanjang jalan, para sopir dan kondektur sedang
bergelayut di luar jalan umum. Tapi, kalau menunggu
sampai mereka bangun, mentari akan menyengat sepanjang
perjalanan itu. keyakinan yang begitu optimis ini bisa saja memuai, terbang ke
langit jauh. Malam yang telah mengubur semua kenangan tentang hari kemarin akan
menyeruak, berbaris teratur di pinggir jalan yang akan ku lalui. Sesungguhnya
nurani sudah memperingati tentang semua itu, namun ayah bersikukuh untuk
berangkat saat matahari sudah tepat di atas ubun-ubun. Sungguh, aku tidak bisa
membantah sikapnya. Apa yang sudah dikatakan harus dituruti. Melawan sama saja
menceburkan diri ke lubang hitam atau terjun
bebas ke dasar ngarai dengan kesepian dan kesendirian
yang begitu melankolis.
Mungkinkah aku harus sedikit
bernegosiasi? Merayunya
dengan sikap manja dan kekanakan? Apa ayah luluh setelah aku meletakan kepala
di pangkuannya atau memijit pundaknya? Aku pesimis. Telah kusaksikan dengan
mata telanjang bagaimana saudariku merengek, memohon izin untuk melewatkan
malam di rumah sahabatnya di kota namun tetap saja ayah tidak memperkenankan
dirinya. “Anak
perempuan seusia kamu tidak boleh keluar rumah, apalagi sampai tidur di rumah
orang. Nanti orang bilang apa.”
Begitulah ayah. Selalu berusaha agar anak-anaknya menuruti semua aturan
yang telah tertulis
secara lisan. Walau tembok
kokoh nan megah yang kasat mata itu sudah ayah rawat sejak kami mulai tumbuh
sebagai perempuan, namun kali
aku
tidak boleh menyerah. Harus bisa meyakini ayah kalau keputusan untuk berangkat
di saat subuh adalah keputusan terbaik. Dan,
inikan perjalananku, tentunya aku berhak untuk menentukan pukul berapa berpisah
dari mereka.
Melubangi tembok indah buatan ayah berbanding lurus
dengan kebinggungan saat terjebak di sebuah
labirin. Kehendak itu sudah
menghuni pikiran tapi aku
sendiri tidak tahu harus mulai dari mana dan akan
berahkir seperti apa. Keadaan ini juga seperti skenario film-bukan skenario sinetron juga bukan skenerio
film esek-esek berkedok horor atau skenario film abalabal-yang bertujuan
untuk memenangi festival film internasional. Aku tidak tertarik dengan festival
film nasional. Terserah kalian omong apa. Memang kenyataannya sudah begitu.
Soalnya, bagiku festival film nasional kurang idealis sangat pragmatis dan
komersial. Dengan scene-scene[1]
yang dijejali dengan alur dan plot yang mampu memantik khayal dan pikiran
penonton sehingga tidak hanya gelak tawa atau decak kagum yang muncul usai
menonton film tersebut. Walau begitulah keadaannya, aku harus mampu melubangi
sedikit tembok ayah itu. Hukumnya wajib bukan sunnah. Retorika dengan pola pikir teratur dan sistematis merupakan
senjata utama menghadapi ayah. Metafora hanyalah senjata pelapis. Kalau ayah
menggunakan metafora, aku pun siap membalasnya dengan senjata yang sama. Dalam menghadapi ayah teori kutub negatif
bertemu kutub negatif hasilnya positif mungkin bisa dipersiapkan tapi bukan
menjadi hal utama.
Malam
tengah mesra menggoda bulan. Gemintang terlihat cemburu dengan sikap malam.
Kunang-kunang hanyalah dian yang berpendar di antara cahaya lampu buatan Thomas
Alva edison. Ayah di ruang tamu. Dari ruang tamu pula, terdengar suara seorang
perempuan labil yang sedang menjajakan produk pembalut wanita. Ayah sedikit
melirik ke arah perempuan itu. Wajahnya agak sinis. Aku tidak tahu kenapa wajah
ayah demikian. Apakah wajah itu demikian lantaran ayah muak dengan busana sang
perempuan, ataukah ada pikiran lain yang mengganggunya sehingga suara perempuan
tersebut membuat ayah kian terusik. Kepulan asap tembakau entah dari mulut ayah
atau dari ujung rokok yang tersulut itu hanya komeo[2]
yang berkelindan begitu saja. Sedangkan ibu sibuk merapikan kardus yang mengisi semua perbekalanku.
Kira-kira empat puluh dua jam lagi, aku meninggalkan semua kenangan di rumah dan kamar
ini. Sekitar dua ribu delapan ratus delapan puluh menit lagi, lilin di pojok
kamar akan padam entah sampai kapan dinyalakan kembali. Buku-buku dan kamus Jhon Echols yang tersusun rapi, serapi
cerita kebersamaan kami yang akan kusam, tertimbun di bawah debu tebal. Apalagi
kasur, bantal, guling dan sprei ini. Mereka butuh waktu untuk menerima
kehadiran penghuni barunya. Kaget itu pasti.
Lantas, akankah mereka akan mengusik tubuh yang akan menindih mereka?
Entahlah. Perpisahan. Kenapa harus ada
lara? Tidak bisakah kelam tergerus pendar? Mengusirnya mungkin akan membalik
sejarah yang sudah tertulis berabad-abad. Itu pekerjaan berat. Sangat tidak
mungkin menyelesaikannya dalam semalam. Aku
bukan Sangkuriang yang sanggup membangun sebuah bendungan atau Bandung Bondowoso
yang mampu mengerjakan 1000 candi sebelum jago berkokok. Meninggalkan
kenangan lebih berat daripada berpisah dari kedua orangtua dan sanak saudara.
Sebelum waktu menyisahkan 30 pukul, aku harus menemui
ayah. Memberikan penjelasan dan alasan kenapa aku memilih berangkat di kala
subuh jatuh di pangkuan angka tiga. Lantas, bagaimana mengawali pembicaraan?
Sedangkan cicak di dinding kamar saja terlihat mulai gelisah saat pikiran ini
berkecamuk. Mungkin, cicak yang selama ini melihat kelakuan ayah sudah tidak
yakin jika usahaku akan bermuara pada kesuksesan.
“Aku harus,” ucapku untuk meyakinkan diri.
“Akan menjadi aib. Wanita lulusan ilmu komunikasi ini
tidak bisa menaklukan sikap ayah”
Aku memantapkan pikiran dengan kembali membuka
beberapa buku kuliah mengenai teknik negosiasi. Tak lupa pula kubenamkan diri
dalam bacaan psikologi. Setelah menyegarkan ingatan, aku pun melangkah ke arah
ayah. Sesaat pintu kamar terbuka, ayah masih asik dengan tembakaunya.
Pandangannya lurus ke depan. Ke arah pintu depan yang masih terbuka. Ku lirik sebentar ke arah jarum jam yang
menunjukan pukul 23.00.
Canggung.
Mungkin kata yang cukup baik bagi keadaanku. Jantung berdeguk kencang. Tatapan
tertuju pada lantai. Ibu bersuara. “Nona. Sudah atur semua pakaian dalam kopor.” “Sudah semua,” jawabku dengan nada
suara lemas.
“Tidur sudah.”
“Nonton tivi dulu mama.”
Mendengar suaraku. Ayah meletakan rokoknya. Asbak yang
menjadi tempat peristirahatan sementara puntung-puntung rokok itu sudah terisi
penuh. Padahal, sore tadi aku baru saja mengkremasi semua puntung rokok ayah di
lubang sampah. Aku meletakan diri begitu saja di samping ayah. Ayah belum
mengalihkan pandangan dari pintu depan.
Langkah
pertama untuk menciptakan pembicaraan adalah dengan menutup pintu depan. Aku
yakin cara ini membuat ayah tersadar dari pikirannya dan menegor tingkahku. Dugaanku benar. Sesaat setelah engsel pintu
mengeluarkan bunyi berderit, ayah pun mengurai senyum dan berkata, “Ayah sudah
pesan mobil untuk keberangkatan kamu pada lusa siang.”
“ohhhhh,…..” jawabku sekenanya.
Ayah mengacuhkan jawabanku. Padahal, seingatku, ayah
akan memberikan tanggapan, kalau kami
anaknya berujar demikian. Ada apa dengan ayah? Sedihkah dirinya dengan
perpisahan ini? Ah..terlalu naif. Bukankah ayah sendiri yang mengajurkan aku
untuk berangkat ke tempat itu? Usai ujar itu meloncat keluar dari lidah dan
sampai dengan selamat di kuping ayah. Aku menemukan ayah membisu. Aku kembali
duduk di samping ayah. Mencoba menerka jalan pikiran ayah. Sungguh. Aku tak
tahu apa yang berkecamuk di dalam sana. Semua
buku dan pengetahuan yang telah kucecapi terasa hambar di lidah. Pikiran beku.
Tak bisa berpikir barang seinci pun. Aku gagap. Sedangkan ayah sendiri masih
terdiam.
Perempuan
labil itu kembali mempromosikan produk pembalut. Tapi ayah tidak lagi melirik
ke arahnya. Rokok juga dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja. Korek gas
tertidur pulas di samping bungkus rokok tersebut. Ibu sudah masuk kamar. Ketiga
adikku juga telah pergi bersama mimpi-mimpinya. Sekarang tinggal aku dan ayah
yang masih terjaga.
“Ayah. Bisa bicara sebentar?” ucapku dengan suara agak
gemetar. Ayah menjawabnya dengan mengelus rambut. Ada seulas senyum terlukis sendu di bibirnya.
Retak berkaca di kedua bola matanya.
“Terik sudah menguasai musim ini. Tak ada lagi teduh
yang bertengger di siang hari. Aku takut
kalau berangkat siang maka akan tiba di tempat itu pada malam hari.” Sungguh
retorika, cara berkomunikasi yang diajarkan dosen dan predikat Cum Luade berubah jadi barang rongsokan.
Di hadapan ayah, aku sesungguhnya masih mahasiswa semester satu.
“Kita tidak hanya dikarunia insting atau naluri.”
Hening. Sepi yang melankolis. Itulah keadaan yang
tercipta usai metafora ayah menampar anak telingaku. Wajah pun
memerah. Semerah darah yang menindih kedua kuping dan pipiku. Keadaan ini
semakin beranak pinak memenuhi ruang tengah ini lantaran kesenduan tergolek
lemas di langitlangit malam.
Maksud tak tersampaikan.Gundah di rasa.
Sedih menohok pita suara. Aku meninggalkan ayah dengan mengulum senyum
kekalahan. Ayah memang sosok yang berpendirian teguh. Butuh waktu dan persiapan
yang cukup untuk meyakinkan ayah. Aku kalah. Di kamar berukuran tiga kali empat
meter persegi ini, di atas tempat tidur, aku terduduk lemas. Sepoi malam yang
masuk lewat ventilasi udara akan menyaksikan dengan angkuh kekalahanku. Segera,
sesudahnya ia pergi dengan sorak sorai. Mungkin sepoi akan mengabarkan keempat
penjuru angin berita kekalahan telakku malam ini. Tiba-tiba, Sebuah tanya
menyeruak; kenapa tadi saya tidak bersikap manja dan meletakan kepala di
pangkuan ayah?
Keesokan
paginya, aku terjaga lebih awal. Merapikan tempat tidur kemudian bergegas ke dapur.
Debur dan gemerisik pagi belum terdengar. Hanya kecipak air yang
terdengar dari kamar mandi. Aku tahu. Tidak ada orang di dalam sana. Itu hanya
hasil dari kerusakan kran air belum juga diperbaiki selama tiga bulan ini. Aku
menyalakan kompor minyak dengan korek gas yang kuambil dari samping lilin di
kamarku. Aku memungut lidi yang terbalut kapas berwarna hitam kemudian
menyulutnya dengan korek gas. Lidah-lidah api mulai bernyala terang, membakar
sumbu-sumbu kompor yang berjumlah dua puluh empat. Aku menunggu api kompor
berwarna biru kemudian meletakan wajan di atasnya. Tanpa pikir panjang, kuambil
pisang dan adonan yang sudah disiapkan ibu di dalam kulkas lalu menggorengnya
dengan minyak bekas gorengan kue cucur. Potongan pisang yang telah dibalur
adonan itu menimbulkan keributan ketika menyentuh minyak panas. Suaranya mirip
petikan gitar seorang yang baru pertama kali memegang gitar tapi berlagak
layaknya Jim Hendriks atau Rama Satria Claporth. Selang lima menit, suaranya mulai terdengar
perlahan. Aku tahu itu berarti adonannya mulai matang. Semenit berikutnya,
harus segera diangkat kalau tidak adonan tersebut akan gosong. Usai menggoreng
adonan pisang, aku menyeduh kopi untuk ayah dan mempersiapkan sarapan buat
ketiga adik yang akan berangkat ke sekolah.
Ibu
dan ayah sedang duduk di teras rumah. Bagiku, kelakuan mereka cukup aneh.
Biasanya hanya ayah yang duduk di sana sedangkan ibu selalu membantuku di
dapur. Mungkinkah ini akibat dari pembicaraan aku dan ayah semalam? Bisa iya.
Bisa juga tidak. Biarkan saja mereka berbicara. Toh tidak akan mengubah keputusan
yang sudah ayah buat. Saat aku meletakan kopi di atas meja, keduanya seperti
terjaga dari rasa kaget. Aku diam saja. Berusaha tidak bereaksi atas sikap
canggung mereka. Bagiku ini merupakan cara terbaik untuk tidak menimbulkan
sesal atau kecewa. Biarlah sesal dan kecewa mengambil sebagian hatiku.
Siang berlalu. Hanya ada sebagian kenangan yang hadir sekadar mengobrol
dan bertukar kabar. Mungkin agak spesial di saat senja. Lembayungnya menuntun
langkah menuju karang di sudut pantai. Aku di sana. Membuang tatapan ke arah
laut lepas. Buih menggulung lembut dengan sedikit erangan yang diciptakan dari
percintaan pasir dan karang. Aku masih di sana, mengulum senyum sunyi, sesunyi
suasana senja. Panggilan ayah berlalu disembunyikan angin dari gendang telinga.
Dengan sedikit terpaksa, adik harus menggantikan peranku sebagai penyeduh kopi
senja buat ayah.
Adalah
di relung malam, sekitar pukul 21.00, sebuah kejadian langka beraroma flamboyan
menyeruak di rumah empat kamar ini. Usai makan malam, aku diminta ayah berdiri
dan mengucapkan kata perpisahan. Aku geli. Bagaimana tidak. Baru kali ini, aku
harus bertingkah seperti seorang guru yang akan pergi meninggalkan sekolah,
entah karena dipensiunkan atau dipindahtugaskan. Agar tidak mengacaukan malam
terahkir bersama mereka, aku terpaksa meladeni permintaan ayah. Sempat
terlintas di benak, kalau ayah hendak merekam semua tuturku agar dapat ia
gunakan saat dirinya berdiri di hadapan para guru dan murid di akhir masa
jabatannya yang sebentar lagi menyapanya. Usai berceloteh, aku kembali ke kamar
dan menyerahkan diri kepada bantal dan guling untuk terahkir kalinya. Pupus
sudah harapan untuk kembali meyakinkan ayah agar berangkat di saat subuh.
Pagi
bangga. Ia merasa menang telah mengalahkan subuh yang hendak menghantarku ke tempat tujuan. Namun, kesombongan pagi akan segera usai,
digusur siang yang paling berhak atas kemenangan tersebut. Ayah sudah bersiap.
Ia mengenakan busana yang sering digunakan saat acara kebaktian di Gereja.
Sedangkan ibu, sibuk memeriksa segala perlengkapan yang akan memenuhi kamar di
hunian baruku. Ketiga adik masih berada di sekolah. Kalau aku sudah berbusana
seperti ayah tapi tidak serapi ayah.
Tepat, pukul 12.00 mobil yang akan menceraikan aku dan
kenangan selama dua puluh tiga tahun telah menunggu di halaman rumah. Ayah
segera menyuruhku untuk mencium tangan bunda. Lalu, bagaimana dengan ketiga
adikku? Ayah sepertinya tidak mau kalau
aku harus mengucapkan salam perpisahan dengan mereka. Aku bingung dengan sikap
ayah. Apa boleh buat. Itulah keputusan. Aku tinggal menuruti saja. Ibu memahami
sikap ayah sehingga dirinya juga tidak terlihat sedih walau harus berpisah
dengan puteri pertamanya. Aku dan ayah berangkat. Perjalanan sungguh tidak
menyenangkan. Di kanan kiri jalan. Segala kenangan terlihat sedih. Ada yang
mereka sampaikan namun suaranya terhalau deru mobil dan angin. Lagi-lagi, aku
berpasrah. Sepanjang perjalanan ayah begitu tenang. Ia menikmati perjalanan
dengan dua bungkus rokoknya.
Tiba di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul 20.00.
Seorang penjaga berusia sekitar 60 tahun membukakan pintu pagar. Di pintu
depan, sudah berdiri beberapa wanita berpakaian putih dengan kerudung tertata
rapi di kepala. Pemandangan ini tidak asing lagi. Hampir enam tahun lamanya,
aku berada di sekitar mereka meski tidak di tempat yang tepat di depanku.
Setelah mesin mobil dipadamkan dan aku menjejalkan
kaki jalan beraspal, seorang wanita menyambutku dan segera mengambil
barang-barang yang telah diturunkan kondektur dari bagasi mobil. Ayah sudah
terlibat dalam pembicaraan dengan salah satu wanita yang berdiri di pintu. Aku
dan wanita yang mengambil barang bawaanku, bertegur sapa dan berkenalan.
“Tari,” aku mengulurkan tangan seraya memperkenalkan
diri.
Si wanita tersebut menjawab “Suster Afra.”
Kami berdua menuju ke pintu. Ayah dan Si wanita yang
berdiri di pintu tersenyum menyambut kedatangan kami.
“Kami kira adik dan om tibanya tadi siang. Panggil
saja suster Angel.” Sembari mengulurkan tangan ke arahku.
“Saya Tari.”
Setelah perkenalan, kami bergerak masuk. Suster Angel
dan ayah duduk di ruang tamu sedangkan aku dan suster Afra menuju ke kamar yang telah disediakan untuk
ku.
“Oh…begini
kamarnya,” begitulah gumanku dalam hati ketika menyasikan keheningan dan
ketenangan yang berdiam di kamar tersebut. Aku mulai memperhatikan keadaan
kamar. Tidak ada lilin yang terletak di salah sudut kamar namun bau lilin
begitu terasa di kamar ini. Cat dan model kamarnya juga bergaya kuno tapi tetap
menawarkan suasana yang dirindukan orang-orang kala hendak lari dari rutinitas
dan beban pekerjaan.
“Sejak saat ini, Tari menempati kamar ini. Kalau aku
tidur di kamar di lantai dua.” Perkataan suster Afra membuyarkan jalinan
persahabatan dengan kamar ini.
“Terima kasih Suster.”
“Kalau butuh sesuatu bilang saja. Nanti akan
disediakan.”
“Terima kasih Suster.”
Melihat tingkahku yang berbalut rasa gugup, suster
Afra tersenyum dan berlalu dari hadapan
ku.
Ku
rebahkan diri dan merasakan suasana yang belum pernah kurasakan seumur hidup.
Meski mata terpejam namun dapat kupastikan kalau kamar ini dipenuhi dengan
beribu cahaya. Aku membiarkan saja sensasi itu merayap di sekujur tubuh. Tanpa
sadar aku tertidur hingga lonceng berdentang tujuh kali. Aku terbangun,
menyadari kalau hari sudah pagi. Aku tak tahu harus berbuat apa. Teringat pula
ayah yang tidak sempat kukecup tanganya. Apa penilaian suster Angel terhadap
ku? Pikiran ini begitu mengganggu.
Dengan
posisi bersila di lantai sembari memejamkan mata. Berusaha merasakan sensasi
yang semalam menghantarku ke tidur paling nyaman dalam sejarah hidup. Tak butuh
waktu lama. Sensasi itu hadir. Masih sama seperti malam tadi. Aku menyerahkan
diri kepadanya. Dalam temaram cahaya paling temaram yang berkelindan di kamar
ini, jiwaku terbang melintasi batas langit dan melepas pandangan sambil
tersenyum bahagia.
Menjelang
siang, suster Afra memanggil. Memintaku menghampiri Pendopo. Ayah berbincang dengan suster Angel. Aku mencium tangan
ayah dan duduk bersama mereka. Wajah ayah tampak kecewa. Suster Angel juga
menampakan wajah serupa. Ada apa? Pertanyaan ini menggerayangi pikiran. Berharap Suster dan ayah memberikan penjelasan.
Komentar