SEBELUM TENGAH MALAM (Lanjutan)

Neshi sendirian, berdiri di tengah kerumunan penduduk yang meminta pertanggung jawaban. Beradu pandang, berganti tatap serta bersilang pendapat bagai momok menakutkan untuk gadis sekecil Neshi. Kondisi yang tidak seimbang ini semakin membuat Neshi terpojok, terkukung di bawah tatap awas segenap penduduk kampung.

"Coba kau tunjukan bagaimana cara memindahkan gelas itu tanpa harus dipegang" seorang tetua menunjuk telunjuk tepat di depan wajahnya.


"Mama di manakah dirimu?" Jerit Neshi dalam hati.

Sungguh gadis kecil berpakain kebaya ini tak sanggup menguasai keadaan. Ia gemetar. Lututnya goyang. Keringat pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Segenap penduduk masih membentuk lingkaran sedangkan dirinya menjadi pusat perhatian mirip sebuah tontonan di tanah lapang.  Pincang memang keadaan di siang itu. Rasanya dunia runtuh. Tak ada pengakuan akan keakuan. Semuanya bersepakat menghalau yang namanya perbedaan. Yang berbeda, lawan arus dipandang sebagai aib. Perbedaan harus dilenyapkan. Kalau mau berada bersama maka harus menuruti kebiasaan dari komunitas.

Neshi pasrah. Berharap hadirnya mukjizat, Tentang ini pula, ia pun menutup kedua kuping. Menunduk, menatap tanah jangan-jangan tanah terbelah dan menelan dirinya dari hadapan para  penduduk.Sebuah usaha menjaring angin. Memang terkadang seseorang membutuhkan sesuatu yang dianggap mustahil. Sebab berjuta kemungkinan bisa saja terjadi di mayapada ini.

Saat tak ada lagi pijakan rasional maka dongeng pun bisa diyakini sebagai kenyataan yang pernah terjadi. 

"Hei anak kecil! Kenapa kau diam saja. Kau pikir kami yanng berdiri di bawah terik ini tak berarti apaapa. Cepat kau tunjukan kemampuan itu" semakin para penduduk mendesak Neshi untuk memindahkan sebuah benda  hanya dengan menatapnya.

"Ibu! di manakah engkau!" Hanya in yang sanggup lakukan di tengah tekanan segenap mata awas penduduk.

Dan siang suguhkan terik. Ilalang di atap rumah pun kering kerontang. Bilahbilah bambu sebagai daun jendela berderit tak karuan. Neshi nelangsa  Sebongkah derita berkelindan sesuka hati. Inikah nestapa sang anak yang hadir karena sebuah perjanjian yang dibuat sang ayah dengan si alih nujum? (Bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT