Postingan

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

Mengapa senja memanggil Iras kembali ke kamar dengan potret perempuan yang menggantung di dinding? Jawabnya masih misteri. Semisteri arti tatapan sang perempuan dalam bingkai. Seperti senja-senja lainnya, Iras mulai melakoni ritual untuk menelisik dengan serius potret hitam putih itu. Pastinya, demi menguak tanya tentang pesan yang tersembunyi di balik sorot mata sang perempuan. Pada momentum inilah, tak bosan-bosan, Ira kembali mencari sumber tepatnya literatur dalam ingatan tentang maksud maupun arti sebuah tatapan dalam potret. Sesungguhnya sudah cukup banyak literatur tercerap dalam batok kepalanya. Mulai dari berbahasa asing maupun bahasa ibunya. Toh, seperti yang sudah-sudah berahkir dengan kebingungan. Iras bukan pribadi yang cepat menyerah. Meski 'kerja keras masih mengingkari hasil', ia terus mencari upaya untuk menemukan jawab. "Sampai kapan?" Begitulah kecamuk suara dalam dirinya. "Entahlah." Iras menjawabnya. (Bersambung)

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (Empat)

Dia itu perempuan bukan wanita.  Iras masih memandang potret hitam putih di kamarnya. Setiap senja, usai menghidangkan kopi bersama pisang goreng kepada ayah, pasti Iras kembali ke kamar untuk melihat wajah di bingkai itu.  Wajah perempuan yang entah kenapa tidak asing baginya. Ya, wajah perempuan bukan wanita yang tampak di sana. Sedari beradu tatap, Iras menyadari kalau sosok hitam putih di dinding kamarnya mengusik kesadarannya tentang pemaknaan perempuan dan wanita. Adalah sorot mata itu yang terus menarik Iras untuk mencari jawab perihal perbedaan antara perempuan dan wanita. Tentunya, mengganggu apalagi Iras kala itu masih kecil. Sempat, ia meminta penjelasan ayahnya. Toh hanya umpatan yang terberi.  "Anak kemarin sore mau tanya hal yang tidak penting. Lebih baik kau sapu halaman rumah dan sediakan kopi." Begitulah ayahnya 'membunuh' rasa ingin tahu Iras.  Dibungkam hanya membuat penasaran. Dan Iras terus mengaduk pikiran demi sebuah jawaban atas pertan

SEBELUM TENGAH MALAM (Lanjutan)

Gambar
Neshi sendirian, berdiri di tengah kerumunan penduduk yang meminta pertanggung jawaban. Beradu pandang, berganti tatap serta bersilang pendapat bagai momok menakutkan untuk gadis sekecil Neshi. Kondisi yang tidak seimbang ini semakin membuat Neshi terpojok, terkukung di bawah tatap awas segenap penduduk kampung. "Coba kau tunjukan bagaimana cara memindahkan gelas itu tanpa harus dipegang" seorang tetua menunjuk telunjuk tepat di depan wajahnya. "Mama di manakah dirimu?" Jerit Neshi dalam hati. Sungguh gadis kecil berpakain kebaya ini tak sanggup menguasai keadaan. Ia gemetar. Lututnya goyang. Keringat pun mengalir deras di sekujur tubuhnya. Segenap penduduk masih membentuk lingkaran sedangkan dirinya menjadi pusat perhatian mirip sebuah tontonan di tanah lapang.  Pincang memang keadaan di siang itu. Rasanya dunia runtuh. Tak ada pengakuan akan keakuan. Semuanya bersepakat menghalau yang namanya perbedaan. Yang berbeda, lawan arus dipandang sebagai aib. Per

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (tiga)

Gambar
Iras sudah menenun aksara. Jemari lentiknya telah hapal betul tomboltombol querty di keyboard laptop atau pc.   Upah dari tenunan aksara pun lumayan buat makan seharihari. Walau begitu, pertanyaan seputar sang penatap di bingkai itu belum juga beranjak dari benak. Siapa sesungguhnya perempuan bergaun merah jambu itu? Mengapa pula ia seolah meminta ku berkisah? “Ayah dan kakak selalu mengelak menjelaskan siapa si perempuan tersebut” gerutu Iras seraya terus memandang potret di kamarnya.  Pagi bergerak lamatlamat. Detak waktu hanyalah penanda sebuah rutinas dan pergantian hari.   Senja pergi, malam datang, kemudian pagi hadir. Dari sekian perubahan hanya kegundahan Iras lah yang masih setia menenami hidupnya. Selalu dan selalu begitu. Realitas seorang Iras adalah pengulangan secara konstan dari hari kemarin. Iras merupakan Iras yang sama dari waktu ke waktu meski dirinya sanggup menyulam ke dua puluh enam aksara menjadi motif dedaunan, hewan atau apapun.  “Yang s

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (dua)

Gambar
Iras terbelenggu tatapan sang perempuan dalam potret hitam putih. Melupakan! Hanyalah usaha menabur benih di atas awan. Dalam kondisi ini pula, membuang bingkai atau memindahkan ke tempat lain pun tak sanggup   melumerkan tatapan yang telah bercokol di relung raganya.  Kenapa Iras tidak meluangkan secuil waktu untuk bercakap dengan perempuan hitam putih itu? Mengapa pula dirinya harus takut terhadap penilaian sang ayah dan kakaknya?  Sejatinya, Iras ingin berbicara empat mata. Jauh sebelum sepasang bola mata itu meminta, dirinya selalu berharap memiliki kesempatan untuk berbagi cerita. Saat kantuk memilin, Iris pun berdoa agar perempuan itu hadir di sana.  Ada pada mimpi, begitulah Iras mendaraskan doanya. Tapi kian didaraskan kian pula dirinya dibuat dibuat kecewa.   Sang perempuan   belum sekalipun menemui dirinya dalam mimpi.   Entah Iras yang salah berdoa ataukah doanya masih berada dalam daftar tunggu?  Hampir saja semangatnya luruh akibat sesal di

GADIS BERMATA SAYU (VI)

Gadis bermata sayu, belum jenuh kan membaca tapak tilas ku?   Sedikit berharap agar engkau masih setia mengeja aksara ku. Kantung mata dijejal lelah. Begitu mendera. Seolah semangat masa muda hanya seonggok kayu kering yang siap dilalap api. Walau raga terpenjara, aku tak hentikan langkah menuju tempat pembaringan. Langkah memang agak gontai, sedikit terseret di aspal. Lantas, haruskah berserah pasrah? Gadis bermata sayu. Jalanan masih sepih, sesepih rasa rindu ku memandang sepasang bola mata di balik bening lensa itu. Sepanjang setapak menuju rumah kontrakan pun, bayangan indah mata sayu mu terus penuhi nalar ini. Hampir saja tubuh terseret laju sedan mewah lantaran berkhayal tetang bola mata mu. Tapi lupakan saja kejadian itu, diriku masih terus berjalan. Aku lumer di bawah kendali tatapan sayu mu. Begitulah aku di sepanjang jalan. Beberapa wanita di kiri-kanan jalan terlihat sibuk menjajakan sarapan pagi. Mereka riang di sepenggal pagi ini. Sedangkan aku h

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (satu)

Kita Perempuan. Bukan wanita seperti yang lainnya.   “Di mana pun dia, aku ingin memeluknya” rintih Iras dalam hati. Hanya pelukan yang diimpikan Iras. Tentu saja, bukan sekadar rangkulan atau saling merapatkan tubuh sembari kedua tangan saling melingkari. Iras ingin lebih. Ia cukup lama merindukan momen berpelukan.   Setiap memandang potret hitam putih di dinding kamar, kerinduan kian memilin, bahkan seperti paksaan. Beginikah rasanya disengat rindu?  Iras kembali memandang potret perempuan 30 tahun yang  sejak dirinya mengenal aksara sudah tergantung di dinding kamar. Beberapa kali sudah, ia menurunkan bingkai potret hitam putih itu guna membersihkannya dari debu. Setiap lakon itu pula, sorot mata sang potret menusuk, menembus masuk ke  pori-pori tubuhnya. Tatapan tajam kedua bola mata si perempuan seakan memaksa Iras membuka dialog, berkisah tentang dirinya. “Aku tidak bisa! Ayah dan kakak nanti bilang aku gila” bisik Iras. Semakin berpaling, semakin pula Iras dipaks