PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (tiga)
Iras sudah menenun aksara. Jemari
lentiknya telah hapal betul tomboltombol querty di keyboard laptop atau pc. Upah dari tenunan aksara pun lumayan buat
makan seharihari. Walau begitu, pertanyaan seputar sang penatap di bingkai itu
belum juga beranjak dari benak. Siapa sesungguhnya perempuan bergaun merah
jambu itu? Mengapa pula ia seolah meminta ku berkisah?
“Ayah dan kakak selalu mengelak
menjelaskan siapa si perempuan tersebut” gerutu Iras seraya terus memandang
potret di kamarnya.
Pagi bergerak lamatlamat. Detak waktu
hanyalah penanda sebuah rutinas dan pergantian hari. Senja pergi, malam datang, kemudian pagi
hadir. Dari sekian perubahan hanya kegundahan Iras lah yang masih setia menenami
hidupnya. Selalu dan selalu begitu. Realitas seorang Iras adalah pengulangan
secara konstan dari hari kemarin. Iras merupakan Iras yang sama dari waktu ke
waktu meski dirinya sanggup menyulam ke dua puluh enam aksara menjadi motif
dedaunan, hewan atau apapun.
“Yang sama memberikan kepastian buat hidup sebab umumnya individu
sedapat mungkin mengelak dari perbedaan”
Kutipan ini pernah dibaca bahkan
berulang kali Iras dengar. Tapi, begitukah ia harus berdamai dengan keadaan. Memang
ada yang harus dipahami tepatnya dimaklumi sebagai mana keberadaannya. Tapi ada
pula yang semestinya tidak dibiarkan sebagai misteri.
”Mudah kata meluncur dan beranak
pinak di lidah” kembali Iras mengumpat dalam hati. Untuk perkaranya tidaklah
semudah menyaksikan terbit pagi dan datangnya senja. Kalau saja ayah bisa
mengurai secuil cerita tentang si perempuan dalam potret itu, mungkin Iras bisa
menikmati senja dari samping rumah. Nyatanya, ayah tak mau ambil pusing dengan
persoalannya.
Di samping rumah ayah sibuk
menyeruput kopi senja. Beberapa puntung rokok sudah tandas di dasar asbak. Kesibukan
lelaki 40 tahun di setiap senja. Hanya begitu. Duduk, berteriak minta dibuatkan
kopi lalu mulai memandang pohonpohon yang ia tanam beberapa tahun lalu.
Komentar