PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (dua)
Iras terbelenggu tatapan sang
perempuan dalam potret hitam putih. Melupakan! Hanyalah usaha menabur benih di
atas awan. Dalam kondisi ini pula, membuang bingkai atau memindahkan ke tempat
lain pun tak sanggup melumerkan tatapan
yang telah bercokol di relung raganya.
Kenapa Iras tidak meluangkan
secuil waktu untuk bercakap dengan perempuan hitam putih itu? Mengapa pula
dirinya harus takut terhadap penilaian sang ayah dan kakaknya?
Sejatinya, Iras ingin berbicara
empat mata. Jauh sebelum sepasang bola mata itu meminta, dirinya selalu
berharap memiliki kesempatan untuk berbagi cerita. Saat kantuk memilin, Iris
pun berdoa agar perempuan itu hadir di sana.
Ada pada mimpi, begitulah Iras mendaraskan doanya. Tapi kian
didaraskan kian pula dirinya dibuat
dibuat kecewa. Sang perempuan belum sekalipun menemui dirinya dalam mimpi. Entah Iras yang salah berdoa ataukah doanya
masih berada dalam daftar tunggu?
Hampir saja semangatnya luruh akibat sesal di setiap ujung mimpi. pernah pula, kala waktu masih berantakan, saat raga masih tertatih, Iras memanggil si perempuan dengan sebutan ibu.
Ya, ibu!
Sialnya sang ayah segera memanggilnya dan berkata jika potret yang terpajang itu bukan sang bunda yang melahirkannya. Menurut ayah, Ibunya sedang keluar kota.
Waktu itu pula, Iras tak paham apa maksud ibu keluar kota. (Bersambung)
Komentar