TIGA KISAH TENTANG TaRi


 “Hanya TaRi, untuk TaRi”
SATU;
Waktu mampu mengambil setiap barang berharga yang ada di ruang kehidupan. Waktu bisa menyembunyikan rahasia dengan sempurna. Satu hal yang tak bisa dilakukan waktu adalah menjelaskan huruf kapital dan kecil yang membentuk namanya TaRi. T kapital, a kecil, R kapital, dan i kecil.  Aku bertaruh. Kalau waktu punya cukup kemampuan untuk menjelaskan alasan dari penggunaan huruf kapital dan kecil secara bergantian itu, maka usirlah aku dari desa. Tentu saja, aku berani bertaruh demikian, karena waktu memang tidak mampu menjelaskan. Waktu hanya bisa berdetak dan merekam semua peristiwa yang terjadi. Hanya itu saja yang bisa ia lakukan titik. Kalau aku tidak punya pengetahuan demikian, mana mungkin berani bertaruh dengan orang se kampung.
Orang kampung begitu yakin, jika waktu punya kemampuan untuk menjelaskan semua hal  di dunia. Keyakinan mereka terhadap kemahapengetahuan waktu dikarenakan penjelasan kepala adat. Aku ingat betul. Saat pesta adat di rumah adat, sang kepala adat berkotbah bahwa waktu adalah penjelmaan roh nenek moyang. Untuk itu, waktu punya kemampuan untuk menyingkapkan semua hal yang tak bisa dijelaskan oleh pikiran. Sebagai mahasiswa lulusan Universitas terkemuka, aku kaget mendengar perkataan sang kepala adat. Walau begitu, aku tidak berani mengatakan kalau sang kepala adat kami tengah mengalami sesat berpikir. Dalam dekap hangat malam, aku hanya terdiam. Mendengarkan semua perkataan ketua adat, sembari sesekali mencuri pandang dengan TaRi yang duduk bersama kedua orang tuanya.
****
DUA;
Di bulan ketujuh gontai masih menyeret jejak ku. Kadang aku terseruduk dan terjatuh di lumpur jalanan. Orang-orang yang berseliweran di sekitar ku begitu terbahak. Mereka acuh kalau aku di titik nol. Sebentar saja TaRi, hanya sekejap kau merelakan waktu dan khayalan mu untuk ku. Mungkin dengan cara itu, aku bisa bangkit dan melanjutkan perjalanan. TaRi, masihkah rinai berjejal di luar sana? Adakah epilog yang tercipta setelah deru pasang memecah keheningan karang?
Aku tahu, kau belum sepenuhnya menyaput nokta yang terjadi di hari kemarin. Sesungguhnya aku juga dibuat gerah dengan semua ini. Mungkin di pelataran esok kau bisa tersenyum di hadapan lembayung. Kau mampu menyembunyikannya dari tatapan para penenun musim. Tapi aku yang masih berbentuk janin serta masih menghuni rahim subuh ini tentunya tidak mungkin mengubur begitu saja nokta itu. TaRi, haruskah aku menyusul mu ke seberang sana?
****
TIGA;
TaRi. Nama yang unik seunik juga orangnya. TaRi, sesungguhnya bukanlah anak kandung dari kedua orang tuanya. Dia ditemukan tergeletak di pinggir hutan. Kala itu, TaRi mungkin saja baru dilahirkan. Tali pusar masih melekat dengan tubuhnya. Tidak ada sehelai benang pun yang membalut raga mungilnya. Meski dalam keadaan demikian, ia tidak menangis. Ketika ditemukan, TaRi sedang tertidur pulas. Keanehan pun belum berahkir. Di saat sepasang suami istri itu membawanya ke kampung terjadilah kehebohan besar. Banyak yang mengira kalau ia adalah anak setan, jin atau salah satu mahluk halus penghuni hutan. Sebab beberapa bulan terahkir ini tidak ada seorang perempuan yang hamil atau melahirkan.  Hampir saja, warga kampung menyuruh sepasang suami istri itu untuk mengembalikannya ke tempat mereka menemukannya. Warga tidak mau kalau kehadirannya membawa petaka dan bencana bagi kampung. Adalah ketua adat-bukan ketua adat yang memberikan penjelasan tentang kemahpengetahuan waktu- yang memperbolehkan sepasang suami istri itu merawat dan membesarkan sang bayi malang. Sang kepala adat bersumpah kalau terjadi bencana maka warga boleh menjatuhkan hukum gantung kepada dirinya.
****
DUA
TaRi, sudah ku telusuri setapak yang kau jejali. Tak sekali pun, mata beralih dari jejak yang masih basah itu. Aku tahu, ini agak gila, mungkin saja bau tanah, sepoi, serta sisa embun di daun kering itu tengah mengoceh tingkahku. Mungkin mereka bilang aku orang gila. Biarkan saja mereka berceracau, tak sedikitpun miris atau gundah dengan semua itu. Setapak ini lebih bermakna dari segala yang mengitarinya.
Berjuntai prahara terbersit bersama kepergianmu. Kau di sana. Berpayungkan kebahagian. Menari di antara dentingan embun yang jatuh di tangkai kamboja. Mungkin saja, keberadaan ku sudah tersaput dari ingatanmu. Haruskah aku memohon untuk menghuni batin mu?
TaRi di perempatan itu, sebelum mendung tertawa lebar kau sempat menjamah sepoi yang berkelebat, kau menyatu bersama garis air yang jatuh di atas lumpur sawah. Selanjutnya hanya bayangan satir yang tertidur di gerai malam. TaRi, kau menyisahkan tanya di benak ini Di kanan kiri jalan, selalu ada yang bertanya tentang mu. Mereka begitu tergoda mendengar penjelasan ku. Bahkan ada yang hendak bersama ku dalam pencarian. Di Macondo[1], Gabriel Gracias Marques memintaku agar segera membawa mu ke hadapannya. Ia tidak sabar lagi untuk melihat bening wajahmu. Di Santiago[2], Paulo Cuelho berharap agar dapat melakukan Ziarah bersamamu. Aku harus menemukan mu.
****
TIGA
            Sepasang suami istri itu, merasakan kebahagian tak terkira. Mimpi yang selama ini bergantung manja di pelupuk malam kini menunjukan rupanya. Tanpa menunggu mereka segera membawa TaRi ke rumah. Hal pertama yang mereka lakukan setibanya di rumah adalah menentukan nama. Tentu saja, keduanya sangat kebingungan. Mereka bukanlah James dan Cynthia Green dalam film The Odd Life of Timothy Green yang telah membuat daftar harapan mengenai anak-anak mereka kelak, seperti nama-nama calon anak, prestasinya, dan keahliannya. Lantas, bagaimana sepasang suami istri ini bisa memberi nama TaRi kepada sang bayi ?
Adalah ketua adat yang menyematkan nama TaRi kepada sang bayi. Dalam benak sang ketua adat, TaRi bukanlah sekedar nama. TaRi merupakan singkatan dari nama kampung. Ta artinya tanah sedangkan Ri merupakan abjad pertama dan kedua dari Riangkoli. Jadi TaRi adalah Tanah Riangkoli. Adapun alasan sang ketua adat menyematkan nama ini dikarenakan sebuah mimpi yang hadir setahun silam. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan para leluhur kampung. Mereka mengabarkan kepadanya kalau kampung Riangkoli akan mendapatkan keberkahan. Dan ketua adat yakin bahwa anak yang ditemukan di pinggir hutan ini merupakan perwujudan dari janji para leluhur kampung.
****
DUA;
Karang dan senja tidak memberikan penjelasan mengenai keberadaanmu. Padahal jejakmu masih terlihat di karang berlumut itu. Dengan apakah kau membayar senja dan karang? Sebuah ciuman atau setangkup pelukan? Ah...aku sedikit melankolis dengan kebisuan itu. Bayangmu masih jelas di antara buih pasang. Dengan gaun merah dan siluet senyum, itulah gambaran yang dihempaskan pasang di bibir pantai. Lagi-lagi pasir masih membisu. Tak satu pun yang berkata kalau itu adalah potret dirimu. Aku pun hanya menahan dada. Di jenjang ini kata-kata tidak bermakna. Kehadirannya semakin mencabik luka ku.
****
TIGA;
            Dalam keseharian TaRi selalu berpayungkan kasih sayang. Seluruh cinta sepasang suami istri yang kini menjadi orang tuanya dicurahkan kepadanya. Meski cinta tak berbatas namun cinta jenis ini bisa menorehkan luka. Dan TaRi merasakan hal itu. Ia tidak diperkenankan keluar rumah untuk bermain dengan para sahabatnya. Kedua orang tuanya sudah menyediakan segala keperluan dan kebutuhannya. Semua tabungan digunakan untuk membeli keperluan TaRi. Namun TaRi tidak membutuhkan semua itu. Ia hanya ingin berkumpul bersama para anak-anak di tanah lapang. Bermain petak umpet saat purnama tiba.  TaRi, kesepian. Pada malam-malamnya mimpi selalu menyuguhkan tawa renyah anak-anak seusianya yang berkejaran di pematang sawah.
Ada sejumput luka di batinnya. Di dinding berbilah bambu, air mata TaRi menempel, menyatu dengan debu yang telah menebal. Pada atap ilalang rumah, kesedihannya tertambat. Ketika usianya merambat ke angka dua puluh tiga tahun, ia masih mendapatkan perlakuan yang sama. TaRi iri melihat gadis-gadis seusianya yang bisa bepergian bersama kekasihnya. Namun, kerinduannya hanya berbatas rindu. Kedua orang tuanya tidak sekalipun memperkenankan dirinya untuk menyentuh kehidupan di luar halaman rumah.
            Saking tidak sanggup lagi memikul deritanya, TaRi pernah kabur dari rumah. Ia berlari ke pinggir hutan. Hampir sebulan, TaRi berada di pinggir hutan tersebut. Ia bahkan  masuk ke dalam hutan dan berjalan kemanapun langkah menuntunnya. Di antara gemerisik sepoi yang mencumbui pepohonan, ia menemukan ketentraman. Kebebasan itu, sempat membuat dirinya tidak mau kembali ke rumah. Sedangkan di kampung terjadi kehebohan yang luar biasa. Persis seperti kehebohan yang tercipta kala dirinya ditemukan. Beragam tafsir mulai menyeruak. Ada yang mengatakan kalau TaRi sudah kembali ke wujud aslinya yakni sebagai hantu. Di warung kopi, para lelaki mulai bergosip.
“Anak itu mungkin diculik penunggu hutan”
 “Kemarin waktu saya dan pak Raka pergi mengambil kayu di pinggir hutan, kami  mendengar dua wanita sedang tertawa. Mungkin itu suara TaRi dengan ibu kandungnya” Timpal seorang pria sembari menyeruput kopi dinginya.
Pria yang duduk di pojok warung pun bercerita. “ Salah ! kemarin malam, sewaktu saya pulang melaut. Saya melihat seorang anak seumur TaRi tengah berjalan di pinggir pantai. Tentu saja saya tidak mau ambil resiko dengan mendekati dirinya. Siapa tahu dia itu jelmaan hantu laut.”  Tiba-tiba pria yang beberapa menit lalu bergabung dengan ketiga pria tersebut berkata “ Sebenarnya TaRi itu dibawa lari oleh anak bapak Sina. Apa kalian tidak tahu kalau Sendis begitu jatuh cinta dengannya?”  Ketiga pria lainnya hanya mengangguk.
            Kegelisahan yang paling gelisah tentu saja kedua orang tua TaRi. Sang bunda tidak berhenti menangis. Sang ayah  tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua cara sudah dikerahkan. Mulai dari  mencarinya ke desa tetangga sampai ke kota kecamatan dan kabupaten. Para dukun yang dinilai mampu menerawang di datangi. Hasilnya TaRi belum juga ditemukan. Tapi anehnya. Sang ayah bersama penduduk kampung tidak melakukan pencarian ke hutan. Entah apa yang membuat mereka tidak pergi kesana. Anehnya lagi, cerita soal keberadaan TaRi di hutan hanyalah gosip.
            Sebulan TaRi berada di hutan. Tak tahu apa yang membuatnya betah. Baginya, hutan memberikan kenyamanan dan membebaskan dirinya untuk melakukan apapun sekehendak hatinya. Dan, pada sebuah malam. Aku menyebutnya sebuah. Lantaran  malam di hutan layaknya segala jenis permainan yang dibelikan kedua orang tua TaRi.  Hutan pada malam hari, tidak selalu membuatnya jenuh. Lolong binatang, tanah basah, serta bias rembulan menghadirkan kenelangsaan bagi TaRi.  Kedaimaan yang disuguhkan siang, tercerabut dari akarnya kala senja mulai digusur malam. Lagi-lagi, TaRi kesepian.
            Tak tahu bagaimana TaRi tiba-tiba sudah berada di pinggir hutan. Dengan segera ia menuju ke rumah.  Kehadirannya disambut dengan tangisan pilu sang bunda. Para warga yang mendengar rintih pilu itu, bergegas menuju rumah TaRi. Beberapa warga yang sempat beradu pandang, hanya tersenyum kecut.

SATU;
            Sampai saat ini, para warga masih terus menungg kerelaan waktu untuk memberikan penjelasan tentang arti dari penggunaan huruf kapital dan kecil pada nama TaRi.  Setiap hari mereka mendatangi rumah ketua adat untuk meminta penjelasan. Mereka bahkan memaksa ketua adat untuk menggunakan ritual pemanggilan roh nenek moyang. Sesungguhnya, makna dan arti dari nama TaRi sudah tertulis di sebuah prasasti yang sekarang tersimpan di rumah adat. Hanya ketua adat terdahulu yang mampu menafsirkan kalimat yang tertera di prasasti tersebut. Apalagi dirinya juga mendapatkan mimpi dari para leluhurnya.
            Kalau ketua adat yang sekarang,  hanya mengurusi usaha simpan pinjamnya yang kian hari kian membuat para warga terlilit utang. Tak tanggung-tanggung, si ketua adat memberikan bunga  lima kali lipat dari pinjaman awal.
            Kini aku paham beberapa hal. Penjelasan ketua adat soal kemahatahuan waktu adalah bagian dari taktiknya untuk membuat para warga tidak bertanya soal TaRi. Karena, Ia juga sesungguhnya telah mengetahui kalau TaRi merupakan sosok yang akan membawa pencerahan  bagi kampung Riangkoli. Dan, yang lebih peting. TaRi adalah bayi dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang wanita dari ibukota. Ketika wanita itu menyerahkan bayi kepadanya,  Ia lantas membuang bayi tersebut di pinggir hutan. Lalu, larangan agar TaRi tidak boleh keluar rumah disebabkan kedua orang tua TaRi pernah dikirimi sepucuk surat yang menyatakan TaRi akan dihabisi jika dilihat berkeliaran di kampung. Pengirimnya tertanda tangan adalah calon ketua adat. Belum selesai. Kedudukannya sebagai ketua adat juga didapatkan secara tidak wajar, lantaran dirinya bukanlah garis lurus dari keturuan ketua adat. Ia hanyalah anak yang hidup di rumah ketua adat setelah kedua orang tuanya wafat. Tampuk pimpinan berhasil diraihnya dengan cara meracuni ketua adat dan mengancam akan menghancurkan kampung kalau ia tidak dinobatkan sebagai ketua adat baru.
           
DUA;
TaRi; Senja yang bergantung lemah di kepak camar mengabarkan sepenggal satir. Mengapa begitu susah menjadikan dirimu sebagai kenangan? Terbuat dari apakah kenangan yang bercerita tentang dirimu? Jujur, berada di kondisi seperti ini membuat ku begitu tersiksa. Hari-hari yang seharusnya dapat dilewati dengan beragam kegiatan, akhirnya hanya diisi dengan khayalan tentang dirimu. Kau harus tahu. Di saat berpisah darimu untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi, aku seperti tercerabut dari kehidupan.
Kepada semua teman kos, aku selalu bercerita tentang dirimu. Mereka bahkan memandang ku sebagai orang gila. Mereka layak berpikir demikian sebab sampai kapanpun aku hanya mampu berkhayal tentang dirimu. Kita tidak dapat bersatu dalam ikatan pernikahan. Ayah ku dan ayah kandung mu adalah dia yang sekarang menjabat sebagai ketua adat.
Mungkin kita akan menikah. Namun tidak pada senja, bukan pada dentuman ombak di bibir pantai. Dan tentu saja tidak di hadapan para saksi dan penghulu. Kita akan menikah di ranting abjad dengan alur dan plot sebagai saksinya.






[1] Kota dalam novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Gracias Marques
[2] Kota dalam novel The pilgrimage (Ziarah) karya Paulo Cuelho

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT