N-I-R-K-A-F-E SEKITAR PUKUL 18.00
“Romantika
merupakan buah dari perkawinan cinta dan rasa.” Itulah, kalimat yang kau
sampaikan di saat kita pertama kali bertemu di kafe ini. Sebuah kafe yang jauh
dari keramaian kota. Kafe yang hanya menyediakan minuman dingin. Apakah ini
layak dinamakan kafe? Tentu saja tidak!
Tapi kita sepakat menasbihkan tempat ini sebagai kafe. Nama yang dipilih untuk
kafe ciptaan kita pun unik dan terbilang langka. N-I-R-K-A-F-E. Bagi yang memahami bahasa indonesia dengan baik dan benar pasti langsung menyimpulkan
kalau sesungguhnya tempat ini bukanlah sebuah kafe. Biarkanlah mereka bebas
berkesimpulan tentang nama kafe pertemuan kita, sebab kesimpulan mereka tidak
mengurangi keakraban yang mulai kita tenun.
Sang
pemilik kafe N-I-R-K-A-F-E ini juga tidak tahu menahu tentang nama yang
disematkan pada tempatnya. Baginya sudah cukup berarti ada orang yang mau
singgah dan memesan minuman dingin yang diletakan sembarangan di sebuah kulkas
dua pintu. Aku jamin, dia tidak akan marah kalau kita katakan tempatnya bernama
N-I-R-K-A-F-E. Mungkin dia senang mendengar tempatnya diberi nama seperti itu.
Bagi bapak yang hanya menamatkan pendidikan di bangku sekolah menengah pertama
ini, nama tersebut sudah terdengar keren. Mungkin saja, kita akan mendapat
tanggapan seperti ini. “Walahhhhh...namanya barat
ya. Bagus tuh nak....nanti bapak minta tukang buat papan nama dengan tulisan
itu”
Aku
cukup kaget dengan pembicaraan di awal pertemuan kita. bagaiamana mungkin, dua
orang baru, berbeda jenis kelamin, bertemu di sebuah tempat baru, dan terlibat
dalam percakapan aneh. Kau harus tahu, waktu itu aku berpikiran kalau diri mu
sedang patah hati atau baru mengalami
kehancuran rumah tangga. Mungkin yang
terahkir ini paling tepat. Karena, sepengetahuan saya yang serampangan dan
semrawutan, di abad ke dua puluh ini perceraian seperti minuman ringan yang
begitu mudah ditemukan di tempat umum. Urusan rumah tangga yang sejatinya
menjadi rahasia keluarga saja sudah berani dibuka di hadapan umum. Lebih
mengerikan berbagai media baik cetak maupun elektronik meliput dan memuat
berita perceraian. Sungguh, edan
dunia ini! Itulah pikiran yang muncul setelah
pembicaraan mu mengenai romantika. Pada dasarnya aku tidak tahu apa itu
romantika. Ku harus akui itu. Sebab defenisi
romantika bisa dipahami oleh seseorang kalau dirinya sudah merasakan seperti
apa rasa romantika itu.
Kita
bertemu lagi seminggu kemudian. Pertemuan kita bukan karena janji untuk
bertemu. Kita bertemu secara kebetulan di kafe yang sama, di hari dan jam yang
sama. Apakah kebetulan ini menjadi pertanda dari sebuah peristiwa yang akan
menggelinding di masa depan? Entahlah!! Aku tidak mau ambil pusing dengan
urusan masa depan. Biarlah masa itu hadir dengan caranya, tanpa harus di setting atau diatur.
Pada
pertemuan kedua, engkau kembali mengatakan hal yang sama ”romantika merupakan
buah dari perkawinan cinta dan rasa.” Kenapa kau katakan lagi? Cukup terlukakah
dirimu dengan romantika? Begitu aneh
pertemuan kita. Tapi, kenapa ada kenikmatan yang tercipta? Sungguh, aku tidak
mengerti!! Di N-I-R-K-A-F-E, pada perjumpaan kedua, kita sepertinya mulai
saling memahami. Lewat tatapan, gerak tubuh, dan rekah senyum seakan terjalin
sebuah ikatan tak kasat mata. Mungkinkah ini
yang dinamakan jatuh cinta pada
pandangan pertama? Di perjumpaan kedua, hanya satu kalimat yang terucap. Itu
pun kalimat yang sama. Yakni “romantika merupakan buah dari perkawinan cinta
dan rasa.” Selebihnya, kita hanya beradu pandang.
Setelah
dua jam hanya dilewatkan dengan beradu
pandang, kita pun berpamitan. Cara mu mengkhiri kebersamaan juga menarik.
Mula-mula, kau tatap botol minuman kosong. Selanjutnya kau berdiri, menunduk ke
arah ku dan bergegas ke arah pintu. Sesungguhnya, apa arti dari semua ini?
Beberapa
minggu kemudian aku berkunjung ke N-I-R-K-A-F-E, dalam ku membuncah harapan agar
beradu pandang dengan diri mu. Cukup lama aku menunggu. Sudah beberapa botol
minuman dingin yang kuteguk, namun kau tidak juga muncul. Bertanya kepada
penjaga kafe ciptaan kita, dia hanya berkata kalau setelah pertemuan kedua itu
engkau tidak kembali lagi ke kafe ini. Sakitkah diri mu? Ataukah engkau sebenarnya hanyalah pelancong yang
kebetulan singgah di kota ini? Ataukah
beberapa pekan kemarin engkau kebetulan sedang mengadakan pertemuan di
sini dan sekarang telah kembali ke kota asalmu?
****
Di
kamar kos, kureka ulang setiap kebersamaan kita. Tak mau kulewatkan barang
sedetik pun dua kenangan yang tercipta di N-I-R-K-A-F-E. Di kondisi ini, aku jatuh cinta pada mu. Aku
suka dengan diam mu. Aku tertarik dengan perkataan mu mengenai romantika. Tapi,
kenapa rasa ini muncul setelah kepergian mu? Begitukah asal mula cinta?
****
Dalam
pusaran kemungkinan, aku dicengkram cakar galau yang luar biasa tajam. Tak ada
kemungkinan untuk lolos dari cengkramannya. Lantas, apa yang harus kulakukan? Give
me one reason yang dinyanyikan tracy
chapman mengembalikan ingatan tentang beberapa lakon di waktu lampau.
Memang itu hanya berupa potongan gerak yang berkelabat. Tapi, kenapa harus ada
melankolis yang muncul? Kenapa juga muncul ketertarikan kepada sosok yang
berkelebat itu? Lagi-lagi lakon
di beberapa tahun silam bermunculan. Sebenarnya aku tidak begitu memperhatikan
tingkah mereka. Sesungguhnya aku lebih tertarik dengan permainan abjad. Tapi
apa boleh buat, mereka begitu memaksaku. Berusaha agar seluruh rasa dan pikiran
difokuskan untuk mengapresiasi tingkah mereka. Saya harus menyerah.
Di
relung kemarin senja hanyalah seonggok peristiwa. Sepuhan warnanya tak mampu
mengubah lirih yang bertengger di ranting malam. Setiap kisah yang membuncah di
antara parade gelombang dan hujan seakan berlalu begitu saja. Dan aku hanya
bisa menatap semuanya. Sementara itu wanita yang menggenggam biola coklat itu
masih terpaku di atas karang berlumut. Nada-nada yang sempat disampaikan pasang
tidak mampu dicerna dawai biola. Lalu, terbersitlah prahara dari seorang
pengamen jalanan. Lakonnya diperuntukan agar esok masih bersamanya. Tapi, yang
namanya prahara selalu berahkir dengan kedukaan. Ia terseret laju mobil.
Sekarang, bagaimana dengan aku? Sebuah tanya yang terkesan mudah namun cukup
sulit mencuatkan jawabannya.
Menarik
memang! Menelisik dan mengulik tanya ini. Apalagi berpetualang bersamanya.Yang
dibutuhkan dalam pencarian ini adalah benteng kesunyian dan realitas
kesendirian. Mungkin ditambah juga dengan sedikit perasaan melankolis. Tapi
jangan coba-coba menyertakan alunan lagu ambon. Keberadaannya bisa merusak
alur, tatanan dan jejak tanya. Mungkin lentingan gitar BB.King bisa menyertai
aktivitas pencarian.
Semburat senyum tersembul kala aku memasuki
benteng kesunyian. Di sekitar tembok berjamur, kesendirian mulai bersolek.
Kesunyian pun menyiapkan segala perlengkapan make-up bagi kesendirian. Dan
ke-aku-an ku tertidur di atas jerami kering. Setelah kesendirian menyelesaikan
aktivitasnya, iapun membangunkan aku. Kala pandangan beradu, BB.King
mulai memetik gitar kesayanganya, Si Lucille. Alunan nadanya dapat
membangkitkan roh-roh para budak Afrika yang terkubur di pinggiran Missisipi.
Di pertengahan lagu, aku mulai membenarkan posisi tubuh. Semua perlengkapan di
keluarkan. Ada setampuk kenangan, semangkuk kisah serta setumpuk catatan hidup.
Setelah mengatur semuanya, aku pun mulai bercengkrama dengan kesunyian.
Percakapan kami diawali dengan saling menyapa.
****
Gadis
pembenci romantika, sadarkah dirimu kalau sudah meninggalkan ketakberaturan di
batok kepala ku? Sejak kepergian mu
tanpa salam perpisahan, hidup ku kacau. Bukan kacau. Tepatnya chaos. Ya...chaos yang tidak bisa direformasi. Lantas, haruskah selamanya berkutat dengan lara ini? Haruskah
elegi menjadi sosok penting di hari-hari ku?
“Ahhhhhh.....”
****
Ku curahkan isi hati dengan menulis
cerita di dunia maya. Tentu saja, ku samarkan ceritanya. Ku caplok gaya
Nietzsche[1] dalam
menuliskan cara pandangnya tentang kehidupan. Walau begitu Ardi, sahabat yang
selama ini menjadi teman ngobrol di dunia maya mampu membaca kegalauan ku.
Beberapa menit, setelah cerita itu menggeliat di dunia maya, ia pun mengirim
pesan singkat lewat inbox.
“
Masbro, kayaknya lagi patah hati”
“
Ngak masbrayyyy...hanya bercerita”
Lantaran,
usaha ku merahasiakan kebenarannya, Ardi pun kian menjadi
“Bukannya
pernah berjanji untuk tidak bersentuhan dengan cerita tentang seorang
perempuan?”
“Heheheheheeeee”
Begitulah pengakuan ku kepada Ardi
“Ok,
besok ketemuan yuk. Kan sudah cukup lama
nih “
“Siap,
jam berapa dan dimana”
“Di
N-I-R-K-A-F-E SEKITAR PUKUL 18.00”
“Jangan
di situlah. Gimana kalau di kafe tempat kita meneguk kenangan terahkir bersama
para sahabat SMA”
“Pokoknya
di N-I-R-K-A-F-E SEKITAR PUKUL 18.00. titik”
“
Ok lah”
****
N-I-R-K-A-F-E SEKITAR PUKUL 18.00,
Ardi sudah memesan dua botol minuman dingin.
“
Macet ya ?”
“Hehehehhehehe”
Aku hanya tertawa, sebah pertanyaannya adalah alasan yang lasim ku sampaikan
kepadanya.
“Kebiasaan,
selalu ngaret. Kayak gini kapan bisa jadi orang kaya”
“Wuidihhhh....orang
kaya. Makan aja masih minta sama orang tua, kuliah aja udah semester banyak”
“
Jangan gitu bro. Kita harus punya impian. Harus bisa menaruhnya lima sentimeter
di depan kita”
“
Ngerti. Tapi kenapa harus berjarak. Gue ngk setuju dengan teori itu. kalau
punya impian dekaplah. Jangan membuatnya berjarak dengan diri.” Soal ini, aku
berseberangan. Bagiku impian harus
terlarut dalam darah.
“Sepertinya,
kita salah arah” Ardi berusaha mengusai kembali panggung pembicaraan
“maksudnya”
“Tujuan
kita kan, untuk mengurai cerita yang kau tulis di FB(facebook)”
“Oh..itu.
ok lah. Begini. Masih ingatkan tentang gadis dan kafe ini. yang sempat gue
ceritakan beberapa minggu lalu?”
“Iya.
Lalu apa masalahnya. Bukanya kau sudah berjanji untuk tidak jatuh cinta”
“Itu
masalahnya. Aku jatuh cinta.”
“Lah
gimana bisa” Aku tahu ini hanyalah caranya untuk memancing ku. Sebelum dia
berceramah, sebaiknya ku curahkah isi hatiku. Maka aku pun menceritakan
persoalan yang mendera ku.
Usai mencurahkan perasaan ku, Ardi
pun mulai membedah persoalan itu. Ia menghubungkan ucapan sang wanita dengan
nama kafe yang kami sepakati. Menurutnya, si wanita itu sengaja mengucapkan
kalimat itu dan menyematkan nama N-I-R-K-A-F-E
pada tempat pertemuan kami. Masih menurut Ardi, kedua hal itu berhubungan
erat. Di mana ia berusaha memberikan kesan atau ia sedang menjalani sebuah
proyek rahasia.
“yang
benar dia menjalani proyek rahasia?” aku bertanya pada Ardi.
Secara
panjang lebar Ardi memberikan penjelasan kalau ada sebuah perusahan yang
bergerak di bidang psikologi dan sosiologi sedang mengadakan penelitian tentang
maraknya perceraian yang terjadi.
“Ah..itu
hanya pemikiran mu saja” aku tidak
mempercayai penjelasan Ardi. Bagiku, hal itu sangat tidak mungkin.
Melihat bahwa aku tidak mempercayai
pernyataanya, Ardi pun mengatakan kalau dirinya adalah salah satu anggota dari
kelompok tersebut. Dan, wanita yang berjumpa dengan ku di kafe ini adalah rekan
kerjanya. Ardi sengaja meminta wanita tersebut untuk menguji apakah aku serius
dengan janji ku untuk tidak jatuh cinta dan membina kehidupan rumah tangga. Namun,
aku masih bingung. Kenapa Ardi begitu serius dengan ucapan ku, padahal itu
hanyalah candaan.
“Begini,
selama perjalanan karir ku sebagai tim peneliti, baru dirimu yang mengucapkan
hal tersebut”
“Lalu,
apa hubungannya “ Aku sungguh kecewa, mengetahui diri ku dipermainkan oleh
sahaba sendiri.
“Intinya,
sekarang aku yakin kalau dirimu masih normal”
“Sialan.
Dasar....” Aku tidak sanggup melanjutkan ucapan, karena sekarang aku tahu kalau
sesungguhnya Ardi jatuh cinta pada ku.
[1]
Seorang filsuf kewarganegaraan jerman.
Ia selalu menggunakan aforisme atau kata lainnya ia menggunakan
peribahasa untuk menyampaikan idenya
Komentar