MUSIM HUJAN DI KOTA BERAGAM MUSIM


Hujan tidak pernah hadir tepat waktu. Kalau ditanya jawabannya selalu sama “terjebak macet di jalan protokol.”  

Di kota ini, aku akan mengunci pintu setiap musim hujan. Para tetangga selalu bertanya, “kenapa kau tak  pernah keluar kamar di saat hujan turun?” Dari musim ke musim jawaban ku tetap sama, “Hujan angkuh, sombong, dan masih terikat kebanggaan masa lalu.” Mereka bingung mendengar jawaban itu, memaksa ku untuk mengurai maksud di balik jawaban tersebut. “Bagiku, musim hujan seharusnya sadar kalau zaman sudah berubah, tidak ada lagi orang-orang yang naik kuda atau berpergian dengan jalan kaki.” Bagi para tetangga penjelasanku labil, tidak menjawab pertanyaan dan terkesan kekanak-kanakan. Walau begitu, setiap tahun mereka tidak pernah berhenti untuk bertanya kepada ku. Lantas, aku yang aneh ataukah mereka? Biarlah misteri membentangkan selimut tebalnya dan menyelebungi aku dan para tentangga. Dan jawaban ku menjadi jeda di antara kami, sebab selesai mengurai penjelasan aku tidak akan keluar kamar sampai kemarau mengetok pintu kamar.

****
Di kota ini. yang menurut paman menjadi tempat paling eksotis kala musim hujan ternyata hanyalah dongeng penghantar tidur. Sewaktu, berada di kampung aku begitu tergoda dengan cerita paman yang pulang saban lebaran. Usai bersalaman dengan semua anggota keluarga, paman mengajak ku berkeliling kampung sembari dirinya bertutur soal musim hujan di kota yang sekarang menampung tubuh ku. Paman bilang kalau musim hujan tiba kota akan dipenuhi ribuan bidadari bahkan jutaan bidadari. Katanya para bidadari diutus oleh batara Wisnu untuk menampung semua air hujan dalam sebuah tempayan raksasa agar kota tidak kekeringan saat kemarau melanda. Aku terpukau dengan cerita paman. Selama berkeliling kampung, aku tidak memedulikan ocehan para warga yang bertukar cerita dengan paman. Bayangan kota yang dipenuhi bidadari merasuk pikiran. Menumbuhkan keyakinan bahwa suatu saat aku akan menjejalkan langkah di kota itu. Aku ingin melihat sendiri seperti apa rupa bidadari yang diceritakan paman.
Mimpi itulah yang membawaku ke kota ini. Setelah menamatkan pendidikan di bangku SMA, aku meminta ayah untuk melanjutkan kuliah di kota yang diceritakan paman ini. Tentu saja, ayah mengabulkan permintaan ku. Ayah memang tidak pernah menolak semua permintaan yang kusampaikan. Alasan ayah mengabulkan keinginan ku lantaran ia ingat pesan ibu sebelum meninggalkan dirinya dan aku sepuluh tahun silam. Kala itu, aku ingat betul. Ibu meminta ayah untuk menuruti semua yang kusampaikan. Saat berpesan, suara ibu terdengar parau. Di wajahnya berlinang air mata sedangkan ayah yang duduk di samping tempat tidur ibu terlihat sangat terpukul. Baru kali ini aku menyaksikan ayah menangis sejadinya. Lelaki yang mampu menaklukan gemuruh gelombang laut paling ganas serta berkemampuan menjinakan keliaran hutan itu ternyata berlinang di hadapan seorang wanita. Dan, aku yang menyaksikannya lewat jendela kamar hanya sesengukan. Sebagai anak kecil, isak tanpa suara adalah hal terbaik. Tidaklah mungkin aku menghamburkan diri ke pelukan ibu atau ayah. Aku tidak punya keberanian untuk menempuh cara demikian. Aku takut kehadiran ku mengganggu pembicaraan mereka.
****
Berdiam diri di kamar selama musim hujan, bukanlah hal yang mudah. Kenangan masa kecil memanggil, mengajak ku berbasah di bawa siraman air hujan. Godaannya begitu licik, selicik orang Yunani mengelabui orang Troya dengan kuda kayunya. Tergoda itu pasti. Apalagi di tengah guyuran hujan terdengar suara lantang ayah meminta ku mengambilkan cangkul dan parang agar ayah bisa menanan anakan pisang. Aku kebingungan. Antara menuruti perintah ayah atau bersikukuh. Dinding kamar bercat kusam serta langitlangit yang sendu ini, kian menempatkan diri pada kegalauan. Semestinya, ku abaikan semua kenangan tentang hujan. Harusnya ku peluk erat guling dan bantal. Memang aku hendak melakukannya namun hujan terlalu ribut. Telinga seakan berada di kendali hujan. Pertanyaan ku; terlahir dari manakah hujan itu? Ratukah, rahim yang mengandungnya ?
Gemuruh hujan disertai gelegar guntur membuatku tersudut, terhimpit beratnya kenangan masa kecil bersama ayah di kebun. Ayah yang selalu menyuruhku untuk menggali lubang berbentuk kubus dengan ukuran 30x30 centimeter kemudian mengajari cara menanam tanaman jangka panjang seperti jati, mahoni dan kamper selalu tergambar jelas dalam ingatan. Cara ayah menabur kotoran kambing di dasar lubang kemudian meletakan tanaman di atasnya dan menutup kembali lubang tersebut dengan tanah adalah kenangan indah di musim hujan. Namun, kenapa keindahan itu hadir di saat sekarang? Bukankah saat bersama ayah di kebun aku selalu menggerutu lantaran dingin yang menggerayangi tubuh? Mengapa? Entahlah. Pastinya. Pada kamar ini, kala raga sudah jauh dari tatap mata awas ayah, kelampuan adalah lukisan paling indah. Aku jamin lukisan Pablo Picasso dengan gaya kubismenya tidak ada bandingnya dengan lukisan yang terpampang dalam khayalku. Lukisan yang memiliki makna dan arti yang tak dapat dijelaskan oleh kedua puluh enam abjad.
 Kenangan akan hujan bersama ayah memenuhi setiap inci kamar ku (bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)