ATA KIWANG DI KOTA CAHAYA
Seraut wajah menyeruak di tengah pendar cahaya ibukota. Wajah itu,
auranya menggambarkan keheningan sebuah puncak gunung yang tidak asing lagi bagi
penglihatanku.
Sebelum
jelaga ibukota membasuh wajah pria itu, ijinkanlah kisahku mengenalnya sebagai ata kiwang(orang kampung). Mungkin tanya
segera berkeliaran. Mengapa harus memahat sang pria dengan label ata kiwang? Bukankah dirinya telah berahim
cukup lama di tanah bernama metropolitan? Peduli setan dengan pertanyaan demikian.
Tanya klise, picisan dan seharga gorengan yang dijajakan pedagang kaki
lima. Ok !! ata kiwang akan dikisahkan dalam kisah tentangnya.
Datang
dari kampung di ujung pulau berbentuk ular pada beberapa tahun kemarin, ia hanya
berbekal pengetahuan sekenanya tentang kehidupan kota seribu cahaya. Cerita seputar kehidupan Jakarta disimaknya dari orang-orang sekitar yang pernah lekat di
ibukota atau dari tontonan di tv. Beragam informasi itu diendap mungkin pula ia
refleksikan agar bisa menghasilkan sari cerita tentang Jakarta. Tapi ini hanyalah
kemungkinan dariku. Kebenarannya masih menunggu uraian darinya.
Aku mengkisahkannya sebagai Ata Kiwang Berburu Serenada. Lantas, serenada
apa yang diburunya? Bukankah agak melankolis dan bernada gaya abad pertengahan?
Bisa iya jika dipikirkan demikian. Tapi biarkanlah kisah ini berkisah tentang seperti
apa dan bagaimana serenada yang diburu ata kiwang.
Bersitatap
dengannya mengembalikan kenangan tentang kampung halaman di kaki gunung Ile Mandiri. Ingatan tentang tingkah warga
kampung membuncah, bersinar terang, menghalau silang sengkarut cahaya ibukota.
Bisa kurasakan bagaimana kehangatan para tetangga yang selalu menawarkan segelas
kopi serta singkong rebus ketika berlalu di halaman rumah mereka. Sapaan khas seperti
bua kae (sudah makan), nega ne tata (bagaimana kak) menghadirkan
nuansa keharmonisan hidup warga belakang gunung
(sebutan yang biasanya digunakan warga kota untuk menyebut penduduk yang
menghuni perkampungan). Lalu, pada raganya, kutemukan keminiman warna ibukota.
Memandang busana
serta gayanya adalah sebuah kontradiksi dengan warga ibukota pada umumnya. Tak ada
kesan anak metro di sana. Hampir di setiap perjumpaan, dirinya selalu mengenakan
pakaian seadanya, bersandal dan khususnya mengutarakan pandangan yang
bertemakan kehidupan kampung.Tapi yang menasbihkannya sebagai ata kiwang berburu
serenada adalah pandangan yang diformulasikan dalam cerita pendek.
Singkat cerita, meski telah menyelami
Jakarta, sosok yang kunamakan ata kiwang ini tetap memendarkan semangat dari kampong asalnya. Sejujurnya membaca tulisan serta mendengarkan pandangan-pandangannya,
membuatku terbakar semangat untuk semakin meretaskan nilai-nilai luhur dari kampung di bawah kaki
gunung Ile Mandiri.
Terlintas pula tuturan seorang sahabat di sebuah senja beberapa bulan kemarin ketika berkumpul bersama teman-teman yang tergabung dalam Orang Muda Flotim-Jakarta (OMFJ)
untuk merencanakan keikutsertaan dalam turnamen Nagekeo Cup II.Kebetulan
di senja itu, sang ata kiwang berhalangan hadir.
“Ada yang menitipkan pesan. Menurutnya perkumpulan kita ini (OMFJ) lebih dari sekadar temu kangen kalau ada acara. Ada baiknya kalau kita bias menjadikan perkumpulan ini sebagai wadah untuk memunculkan kekayaan budaya Lamaholot” ungkap sang
sahabat.
Sungguh brilliant ide dan semangat ini.Jujur, pernyataan ini menyadarkan bahwa aku adalah anak kampung di bawah kaki
gunung Ile Mandiri yang harus memendarkan kekayaan budaya Lamaholot di rahim ibu kota ini. Begitulah, semangat ata kiwang yang membara di
dalam diri sahabatku.
Di akhir cerita. Sematkanlah semangat ata kiwang itu di rahim kota ini. Bila perlu,
bakarlah kota ini dengan api ata kiwang mu. Teruslah berjuang saudara sebab Ile
Mandiri telah memahatkan impiannya di pundak mu.
Komentar