SELAMAT DATANG DI KOTA
“Mengapa engkau menangis sedangkan orang-orang di sekitarmu tersenyum?” Pertanyaan yang muncul dari sampingku ini mampu menghentikan air mata yang mengalir tidak beraturan. Aku tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan dan mencari tahu pemilik suara tersebut. Aku menyeka air mata yang membasahi wajah dan membenarkan cara duduk, agar sosok yang berada di sampingku dapat meletakan tubuhnya. Kemudian aku menyulut sebatang rokok. Setelah beberapa saat menikmati rokok, aku menoleh ke arah sosok yang memberikan pertanyaan. Ternyata seorang pengemis tua yang sedang memegang tangan seorang anak kecil. Dengan sopan aku mempersilahkan pengemis tua ini duduk di sampingku sambil menawarkan sebatang rokok kepadanya. Namun ia menolak tawaranku dan mengulangi pertanyaannya.
“Mengapa engkau menangis?”
“Orang tua yang aneh” umpatku dalam hati.
Bagaimana mungkin ia yang belum mengenal diriku dengan baik secara tiba-tiba datang dan menanyakan persoalanku. Ini adalah sebuah kegilaan
“Sebelum aku mengemukakan jawabannya, sebaiknya kakek duduk dulu”
Sambil memegang tangan cucunya, ia meletakan tubuhnya pada tempat yang telah kusediakan untuk tubuh rentanya. Dari pancaran matanya, aku dapat membuat sebuah kesimpulan sementara bahwa ia begitu bahagia. Tidak ada derita yang terpancar dari mata rentaanya.
Tanpa ditanya ia memperkenalkan dirinya dan cucunya. Kemudian menyuruh cucunya untuk pergi bermain di rerumputan. Si kecil menuruti perkataan kakeknya, tanpa berbicara ia berlalu dari hadapan kami. Langkahnya tidak dibuat-dibuat. Yah....langkah polos seorang anak kecil. Memperhatikan langkahnya, aku begitu terpesona. Sejenak aku melupakan persoalan yang sedang menyerangku dengan begitu agresif. Langkahnya yang polos mampu memberikan ketentraman pada rasa yang sedang berkecamuk. Seandainya setiap orang yang kujumpai melangkah seperti si kecil maka tidak ada air mata pada senja ini.
“Aku dan Si kecil baru tiba dari kampung” perkataannya membuyarkan semua pikiran yang berhubungan dengan langkah Si kecil.
Gemerlap lampu taman sangat menguasai kegelapan di sekitarnya, riuh-rendah suara kendaraan mulai beranjak ke kesunyian. Aku menatap ke arah taman yang hanya diisi oleh pepohonan rendah-kira-kira berumur tiga tahun-dan lampu-lampu taman. Kakek sibuk memperhatikan keadaan sekeliling taman layaknya serdadu Belanda memperhatikan para pekerja yang sedang mengerjakan jalan. Ia memperhatikan dengan teliti setiap gerak dari cucunya, sedangkan aku kembali bersentuhan dengan persoalan yang telah memaksaku untuk mengucurkan air mata. Kehadiran Si kakek sangat mengganggu, ingin menyuruhnya untuk beranjak dari hadapan namun penghargaan terhadap seorang yang lebih tua menyebabkan aku tidak sanggup untuk melakukannya. Akhirnya, aku tidak menghiraukan kehadirannya. “Nak! Mengapa engkau meneteskan air mata?” Pertanyaan yang diajukan kakek sangat menampar serta menciptakan warna merah di mukaku. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menghiraukan kehadirannya.
“Nak! Mengapa engkau meneteskan air mata?”
“Ceritanya panjang kek”
“Kalau begitu, engkau dapat menceritakannya. Aku akan mendengarkan meskipun sampai subuh tiba”
“Dasar tua gila!” gerutuku dalam hati. Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan persoalan pribadi kepada orang yang belum kukenal dengan baik?
“Aku tidak akan menceritakan persoalan yang sedang kualami kepada kakek, sebab..!
“Sebab kita belum berkenalan dengan baik?” ini merupakan sebuah keanehan, dimana ia sudah mengetahui alasan atas ketidaksedianku untuk bercerita dengannya tetapi ia tetap memaksaku agar menceritakannya.
Kami hanya menatap si kecil yang bermain di sekitar cahaya lampu taman. Aku merasa sangat bersalah karena telah menimbulkan kemarahan pada si kakek. Tapi aku tidak dapat dengan mudah dan cepat menceritakan persoalan yang sedang kualami kepadanya, apalagi persoalan ini sangat berhubungan dengan kehidupan pribadi.
“Engkau tidak berada di sebuah pulau yang bertemankan tetumbuhan dan binatang liar”
Lagi-lagi perkataannya begitu memojokan, aku tidak sanggup untuk memberikan tanggapan atasnya. Tanpa disadari air mata kembali mengucur, membasahi wajah kemudian membentuk dua jalur yang bermuara di atas rerumputan. Bagaimanapun aku tetap tidak akan menceritakan persoalan ini kepadanya. Bagiku, menceritakan persoalan pribadi kepada orang asing berarti aku sudah kehilangan kesadaran atas diri.
“Kek! Engkau tidak datang dari masa lampauku, engkau tidak pernah menyediakan pangkauan untuk meletakan kepala ini”
“Aku paham maksudmu. Tetapi engkau harus ingat bahwa kita masih sama sebagai manusia. Aku memang orang asing bagimu, kehadiranku juga tidak berdasarkan atas undangan darimu. Mungkin juga engkau mengira aku sebagai seorang yang memanfaatkan kelemahan seseorang untuk menguasainya. Aku menyadari akan hal itu, tetapi engkau juga harus ingat bahwa tidak semua orang asing yang merelakan waktunya untuk bertanya mengenai keadaan seseorang yang juga orang asing baginya”
Aku sadar bahwa perkataanya merupakan sebuah usaha untuk meyakinkanku untuk tidak menaruh curiga terhadapnya. Tentu saja tujuannya bermuara kepada kesediaanku untuk menceritakan persoalan yang sedang memberikan kesedihan ini. Meskipun demikian, aku tidak akan menceritakannya. Lantas, aku mulai mempersalahkan diri sendiri karena telah berada di tempat ini, mengutuki langkah yang menunutunku, dan memaki air mata yang keluar dari kedua mata ini. Bagiku, kejadian ini adalah sebuah kesialan atau sebagai akibat dari persoalan yang sedang terjadi. Memang persoalan yang sedang kuhadapi sangatlah berat dan aku sangat membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya serta memberikan sedikit petuah yang dapat digunakan untuk membebaskan diri dari persoalan tersebut. Tentu saja orang tersebut harus mengenal diriku bukannya orang asing yang berlagak seperti seorang psikiater atau psikolog ini.
Aku melangkah ke arah jalanan yang mulai sepi dari akitfitas kendaraan bermotor. Tentu kepergian ku merupakan usaha untuk menjauh dari si kakek gila ini, aku tidak sanggup menceritakan persoalan ku kepadanya. Bukan hanya ia orang asing tetapi juga sudah tua. Bagi ku, menceritakan persoalan kepada seorang tua sama saja memberikan diri untuk masuk ke dalam dunianya yang secara alamiah tidak dapat aku masuki. “Aku adalah orang kampung yang hadir sebagai seorang, aku adalah orang kampung yang di hadapanmu berlagak seperti seorang sahabat atau orang tua yang membesarkanmu, aku adalah orang kampung yang menurutmu tidak punya tata krama. Tapi aku juga orang kampung yang selalu berusaha untuk menyeka tangisan di wajah setiap orang dan orang kampung yang selalu melihat setiap orang sebagai saudara.” Aku tidak mempedulikan perkataannya dan berusaha untuk terus melangkah. Dalam hati aku berkata “selamat datang di kota kek.”
Komentar