ULANG TAHUN AYAH

Aku tersadar dari lamunan tentang ayah ketika telepon gengam buatan Nokia bergetar sambil mengalungkan lagu Bintang Hidupku. Dengan segera aku menekan tombol penjawab kemudian mengucapkan salam pembuka kepada suara yang berada di dalam telepon tersebut. Ketika suara itu membalasnya dengan menggunakan kata yang sama, aku hanya bisa terdiam. Suara itu membekukan kalimat yang hendak ku lanjuti, suara itu memiliki kekuatan seperti yang dipergunakan oleh para lector dalam novel Libri di Luca karya Mikkel Birkegaard. Aku hanya bisa mendengarkan semua kalimat yang diucapkannya, tidak ada sanggahan maupun kritik terhada seganap ucapannya. Suara dari seberang yang melumpuhkan kekuatanku untuk menciptakan beberapa kalimat.

“Roni! Hari ini ayah merayakan ulang tahun. Apakah kau sudah mempersembahkan doa untuk ayah?” Aku hanya bisa terdiam, batinku mulai bercucuran air mata. Kucoba untuk menghapus air mata tersebut namun batin tidak juga menghentikan aktifitasnya. “Roni! Hari ini ayah merayakan ulang tahun ke lima puluh satu. Apakah kau sudah mempersembahkan doa untuk ayah?” Suara dari seberang yang terasa begitu dekat karena terhubung oleh telepon genggam ini semakin menambah kesedihan dalam batin ku. Kalimat yang telah diucapkan untuk kedua kalinya tidak dapat ku jawab, malahan air mata juga mulai membanjiri wajah ku. Dapatkah aku menemukan kalimat yang cocok dan tepat untuk menimpali perkataannya? Aku hanyalah ikan-ikan kecil yang selalu mengikuti kawanan hiu untuk dapat memperoleh sisa-sisa makanan darinya. Setelah mendapatkan kepuasan, aku akan segera berpaling tanpa mengucapkan terima kasih kepada kawanan hiu. Meskipun aku selalu bersikap demikian namun kawanan hiu tersebut tidak pernah memangsa diri ku.

Aku tidak bergumul dengan nyala lilin pada malam yang menyatakan bahwa lelaki yang bersuara dalam telepon genggam ku dimuntahkan dari bibir rahim seorang perempuan buta huruf. Aku tidak mengatupkan ke dua tangan di depan dada ketika telepon genggam bergetar sambil mengalunkan lagu Bintang Hidup ku. Aku adalah sosok yang melupakan hari kemarin, yang hanya berkhayal tentang esok dengan sengaja mengatakan bahwa kemaring tidak ada.. Sengaja melupakan hari kemarin, membiarkannya sebagai benda asing yang tidak layak untuk dimiliki. Pada kelampuan yang menempatkan aku di sini, pada kemarin yang menumbuhkan aku dengan beberapa biji padi, pada kesilaman yang masih terus bergerak dan memasuki rahim kekinian. Tidak ada ingatan untuk segala yang berbau kelampuan. Aku adalah esok yang berdiri dengan angkuh di hari ini. “Roni! Hari ini ayah merayakan ulang tahun ke lima puluh satu. Apakah kau sudah mempersembahkan doa untuk ayah?” Layaknya Patridge dalam novel Ishmael karya Daniel Quinn, aku hanya mampu berkhayal untuk dapat mengubah dunia. Yah….berkhayal di tengah kelupaan akan hari kemarin yang menyediakan ruang dan kesempatan bagi khayalan. Dapatkah aku menimpali atau memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas?

Mungkin harus aku akhiri dahulu pembicaraan dengan ayah agar tidak terjadi kesalahpahaman darinya karena diam ku. Setelah satu menit aku memutuskan untuk menelepon kembali. Kali ini aku sudah mempersiapkan diri dengan berbagai alasan yang dapat diterima secara akal sehat. “sorry ayah tadi sinyalnya kurang bagus jadi tata[1] tidak dengar suara ayah.” Begitulah awal yang ke dua dari pembicaraan dengan ayah. Ternyata alasan yang ku ajukan dapat diterima dengan baik oleh ayah, sehingga ia membalasnya dengan menyarankan agar saya tidak hanya membeli pulsa tetapi juga membeli sinyal. Aku meminta ayah untuk mengulangi lagi pembincaraanya tadi.

“Roni! Hari ini ayah merayakan ulang tahun. Apakah kau sudah mempersembahkan doa untuk ayah?”

“Tata tidak tahu kalau hari ini ayah merayakan ulang tahun. Tata benar-benar tidak tahu tentang hari ulang tahun ayah. Tapi tata akan segera berdoa untuk ayah.”

Lagi-lagi batinku menangis ketika kalimat di atas meluncur dengan cepat dan teratur dari mulut ku. Aku; esok yang sedang menatap wajah keriput, tetapi hanya sebatas tatapan.

Hampir satu setengah jam kami berbicara. Aku menanyakan berbagai hal mengenai keadaan rumah dan menu makanan yang dihindangkan untuk merayakan hari ulang tahun ayah. Ayah mengatakan bahwa tidak ada acara yang istimewa untuk merayakan hari ulang tahunnya sebab aku dan adik-adik tidak berada di rumah. Apakah ayah tidak begitu mempedulikan tentang hari ulang tahunnya? Apakah kebahagiannya terletak pada kehadiran kami? Akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dengan ayah dengan berjanji bahwa akan mempersembahkan doa untuknya.

Malam di sekitar ku dipenuhi dengan tangisan beberapa ekor kucing. Tangisan-tangisan itu menimbulkan ketakutan, pada malam-malam yang lalu tidak pernah terdengar tangisan seperti ini. Apakah ada hubungan dengan kelupaan ku pada hari ulang tahun ayah? Tangisan semakin menyayat seperti suara bayi yang ditinggalkan ibunya dalam keadaan haus dan lapar. Aku merinding, tidak menemukan cara untuk menghentikan tangisan tersebut. Hendak meninggalkan kamar namun tidak ada tujuan yang jelas untuk dapat melangkahkan kaki. Para penghuni kamar lainnya sedang berada di suatu tempat yang juga tidak aku ketahui. Dalam kekalutan yang membuncah aku mengangkat kedua telapak tangan dan meletakannya tepat di depan dada. Dengan bahasa yang hanya berkata dalam batin aku mengucapkan beberapa doa yang pernah diajarkan oleh guru sekolah dasar.

Aku; hari ini yang melupakan kemarin dan telah tersesat dalam labirin hari esok. Berjalan dengan keanggunan di bawah purnama berwarna ungu sembari tersenyum kepada bintang-bintang yang sedang bergantung di atas ranting-ranting pohon cemara. Mengucapkan beberapa kalimat untuk menyapa rerumputan kering dan memberi salam kepada sungai keruh yang menguapkan bau tidak sedap. Hampir setiap perjumpaan dalam suara dengannya, selalu bertemu dalam rupa sebuah alat elektronik. Hanya kata yang terkuak dalam bayanganku terhadap dirinya. Aku; esok yang sedang menatap wajah keriput, tetapi hanya sebatas tatapan.

Dengan kedua telapak tangan yang mengatup rapat di depan dada aku masih terus mengucapkan doa untuk mengusir ketakutan yang berkelebat seperti seekor tikus yang lari terbirit-birit ketika dikejar oleh seokor kucing. Biasannya ada nyala lilin yang menyertai katupan telapak tangan di depan dada, tetapi ketakutan tidak memberikan kesempatan untuk mempersiapkan berbagai kelengkapan tersebut. Seluruh doa ku bertujuan agar Tuhan mengambil segenap ketakutan dan memberikan kekuatan bagi diriku. Aku; esok yang sedang menatap wajah keriput, tetapi hanya sebatas tatapan. Bahwa pembicaraan panjang yang terjadi melalui telepon genggam, dengan berbagai janji kepada ayah untuk mendoakannya hanyalah sebatas kata.



[1] Panggilan untuk anak tertua dalam bahasa lamaholot(lamaholot adalah sebuah kebudayaan di propinsi NTT)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT