MEMELUK KEBINGUNGAN(part 6)
Gemerisik air yang mengaggetkan segenap pemikiran tentang perkataan Duran. "Daripada lebih tersiksa sebaiknya aku membiarkan pemikiran ini." Setelah menatap ke arah matahari senja yang begitu lapuk, aku melangkah ke arah sungai yang menjadi sumber dari suara gemerisik.
Langkah kaki yang diarahkan ke sungai harus dihentikan setelah melihat bahwa yang menimbulkan gemerisik itu adalah Duran. Aku menghentikan langkahku karena takut mengganggu kesenangnya. Padahal kami selalu menimbulkan gemerisik sungai secara bersama-sama.
"sebaiknya aku meniggalkan ia di sungai ini," imbuhku pada diri sendiri.
Aku mengerakan kaki untuk menjauh dari sungai dan melangkah menuju ke arah rumah. Setelah tiga menit meninggalkan sungai, aku bertemu dengan para petani yang kembali dari kebun. Wajah lusuh yang terbakar sinar matahari dan kotor wajahnya sangat menyiksa mataku. Bagaimana aku tida merasa tersiksa, aku hanya duduk merenungkan pernyataan dari Duran tanpa melakukan sesuatu.
Salah seorang ibu yang memikul daun-daun singkong dan kelor memanggil namaku dengan suara yang begitu memiris. "Daren.......dari mana kau"
Aku tidak tahu harus menjawab, apakah harus berbohong dengan mengatakan aku baru dari kampung sebelah atau berkata jujur? Aku hanya terdiam, menatap wajah sang ibupun aku tidak punya kekuatan. Sang ibu menghampiriku dengan memikul beban yang berat. Ia memegang pundaku dan mengangkat wajahku
"kenapa engkau begitu lusuh dan susah?"
"adakah kegundahan atau masalah yang menghampirimu?"
Aku masih terdiam dan air mata mulai membasahi pelupuk mataku, ibu yang memperhatikan air mataku balik bertanya; "dimana sahabatmu Duran. bukangkah kalan selalu bersama. Apakah kalian berselisih paham?"
"sebaiknya aku meniggalkan ia di sungai ini," imbuhku pada diri sendiri.
Aku mengerakan kaki untuk menjauh dari sungai dan melangkah menuju ke arah rumah. Setelah tiga menit meninggalkan sungai, aku bertemu dengan para petani yang kembali dari kebun. Wajah lusuh yang terbakar sinar matahari dan kotor wajahnya sangat menyiksa mataku. Bagaimana aku tida merasa tersiksa, aku hanya duduk merenungkan pernyataan dari Duran tanpa melakukan sesuatu.
Salah seorang ibu yang memikul daun-daun singkong dan kelor memanggil namaku dengan suara yang begitu memiris. "Daren.......dari mana kau"
Aku tidak tahu harus menjawab, apakah harus berbohong dengan mengatakan aku baru dari kampung sebelah atau berkata jujur? Aku hanya terdiam, menatap wajah sang ibupun aku tidak punya kekuatan. Sang ibu menghampiriku dengan memikul beban yang berat. Ia memegang pundaku dan mengangkat wajahku
"kenapa engkau begitu lusuh dan susah?"
"adakah kegundahan atau masalah yang menghampirimu?"
Aku masih terdiam dan air mata mulai membasahi pelupuk mataku, ibu yang memperhatikan air mataku balik bertanya; "dimana sahabatmu Duran. bukangkah kalan selalu bersama. Apakah kalian berselisih paham?"
Komentar
Dan ternyata kotak komennya udah lancar...
THE OTHERS:begitulah naluri seoarang ibu