TATANRI XV
Sekarang aku sedang menempuh kesenyapan, bertemankan buku harian yang ia titipkan sebelum kepergian dan sudah lima hari aku meninggalkan dia, entah sampai kapan aku akan kembali padanya, segalanya masih dalam tanda tanya yang besar. Sahabatku mungkin sangat sibuk dengan buku hariannya sehingga keberangkatanku tidak disertai dengan pelukan perpisahan. Apakah aku harus mengemis untuk mendapatkan sebuah pelukan? Haruskah keberangkatan dirayakan dengan sebuah pelukan? Layakkah perpisahan disertai dengan kehadiran orang-orang yang akan menyerukan petuah-petuah untuk perjalanan?
Secara konsensus masyarakat maka pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dibenarkan. Namun aku tidak suka dengan kesepakatan umum dari masyarakat. Bagiku, mengikuti sebuah konsensus sama dengan seekor kerbau yang dicocok hidungnya. Ketidakikutsertaan dalam sebuah konsensus tidak menjadikan aku sebagai manusia yang terasing dari masyarakat, tetapi menjadikan aku lebih mendalami parade di kehidupan ini.
Masyarakat yang selalu menjadi bagian dari perjalanan dan kesehariaan sudah tentu aku tidak akan melupakan atau mengkhianatinya. Seperti sahabatku, ia merupakan bagian dari masyarakat, dari dan dalamnya aku menemukan berbagai kekayaan yang telah diciptakan oleh masyarakat. Kekayaan yang telah diciptakan tersebut menjadi penentu pada perjalanan, meskipun ia menjadi penentu tetapi harus ditelaah dan dikritisi. Sebab semua yang diciptakan masyarakat pasti menyisahkan ruang kosong dan ruang inilah yang harus dimasuki agar mampu menjadikan perjalanan sebagai topik yang selalu dibicarakan oleh para malaikat.
Sekarang aku telah menempuh sebuah perjalanan, dimana aku harus meninggalkan keberduan dengan sahabatku. Keterpisahan yang menyembunyikan wajahnya dari pandangan mataku telah memberikan kesendirian padaku. Sungguh berat untuk menghadapi kesendirian apalagi dengan pengalaman yang sangat sedikit. Haruskah aku kembali kepada konsensus masyarakat tentang ritual keberangkatan? Ah.......kenapa aku menghubungkan dengan konsensus masyarakat. Sungguh payah! konsensus masyarakat sama sekali tidak berhubungan dengan kesendirian yang sedang aku alami. Sungguh sebuah kebodohan dalam berpikir.
Secara konsensus masyarakat maka pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dibenarkan. Namun aku tidak suka dengan kesepakatan umum dari masyarakat. Bagiku, mengikuti sebuah konsensus sama dengan seekor kerbau yang dicocok hidungnya. Ketidakikutsertaan dalam sebuah konsensus tidak menjadikan aku sebagai manusia yang terasing dari masyarakat, tetapi menjadikan aku lebih mendalami parade di kehidupan ini.
Masyarakat yang selalu menjadi bagian dari perjalanan dan kesehariaan sudah tentu aku tidak akan melupakan atau mengkhianatinya. Seperti sahabatku, ia merupakan bagian dari masyarakat, dari dan dalamnya aku menemukan berbagai kekayaan yang telah diciptakan oleh masyarakat. Kekayaan yang telah diciptakan tersebut menjadi penentu pada perjalanan, meskipun ia menjadi penentu tetapi harus ditelaah dan dikritisi. Sebab semua yang diciptakan masyarakat pasti menyisahkan ruang kosong dan ruang inilah yang harus dimasuki agar mampu menjadikan perjalanan sebagai topik yang selalu dibicarakan oleh para malaikat.
Sekarang aku telah menempuh sebuah perjalanan, dimana aku harus meninggalkan keberduan dengan sahabatku. Keterpisahan yang menyembunyikan wajahnya dari pandangan mataku telah memberikan kesendirian padaku. Sungguh berat untuk menghadapi kesendirian apalagi dengan pengalaman yang sangat sedikit. Haruskah aku kembali kepada konsensus masyarakat tentang ritual keberangkatan? Ah.......kenapa aku menghubungkan dengan konsensus masyarakat. Sungguh payah! konsensus masyarakat sama sekali tidak berhubungan dengan kesendirian yang sedang aku alami. Sungguh sebuah kebodohan dalam berpikir.
Komentar
khalil gibran bilang: yg mencari akan menemukan, yang pergi akan kembali...