MENUNGGU SENJA
Di sudut karang itu, aku masih berdiri menunggu datangnya
senja. Sebuah senja yang selalu kita nantikan kala usia masih seumur jagung. Senja
yang selalu membawa kita pada petualangan gelombang. Dan, tentu saja senja yang
memulangkan camar ke sarangnya. Tahukah
diri mu kalau setiap senja aku masih duduk di karang itu? Masih ingatkah engkau tentang percakapan kita
di separuh senja di saat elang tua itu tak sanggup mematuk teri yang berenang
di air dangkal? Mungkin kau sudah lupa cerita itu. Kalau begitu demikian adanya,
perkenankan aku bercerita untukmu. Namun, sebelum kisah itu merenangi senja kita, aku harus menceritakan sebuah kejadian yang kujumpai ketika aku mencarimu di antara
ribuan pasang mata pada sebuah senja, pada sebuah tempat.
Waktu hanyalah serpihan kejadian yang berkelindan saat
aku menyeruak di antara kerumunan orang yang bersejoli di taman kenangan itu.
Hadirku tak berasmara. Aku sendirian. Salah. Tepatnya aku menggandeng
kesendirian dan sepi. Kalau begitu, aku tidak sendiran? Aku bersama. Namun,
bermaknakah kebersamaan kami ? Adakah esensi dari realitas ini ? Seandainya
kupaksakan diri untuk menyimpulkan atau menteorikan model kebersamaan kami
tentu saja akan terjadi banyak perdebatan. Bisa jadi, pemilik sah dari
kebermaknaan akan menuduhku sebagai pemberontak. Sebagai Revolusioner tak
berpendidikan dan brutal. Mereka mungkin
saja segera mengadakan sidang dadakan untuk membahas kelakuanku. Hasilnya, akan
bertebaran petisi dan gerakan publik untuk menteror keberadaan ku. Ujungnya, aku
berhadapan dengan pengadilan sepihak, dan pembelaanku hanyalah ilusi beraroma
fatamorgana. Buat apa persulit diri dengan pikiran tak karuan ini ? Bukankah,
sudah terlalu banyak ketakberartian yang muncul dari jalinan abjad ? Yah...aku berhenti dari rutinitas tak karuan.
Sebaiknya kuakhiri penjelasan paling stupid
ini. Kalau tidak, aku akan membuatmu tambah pusing. Namun, perkenankan diriku
untuk tetap menggandeng kesendirian dan sepi. Biarkanlah kami memasuki taman
itu dan menggulirkan cerita untukmu.
Kabut tipis menggantung di sekitar ranting-ranting
kamboja yang mulai rapuh. Aku terduduk sebagai seorang bisu. Memang di tempat
umum, aku lebih suka menjelma sosok tak berkalimat. Bagiku, eksistensinya mampu
mendekatkan diri pada keberadaan paling asali dari semesta. Bayangkan saja, keberdiamannya
adalah keadaan yang pernah dilakoni dan diperankan oleh semesta sebelum hiruk
pikuk memenuhi ruang dan waktunya. Aku menatap
ke arah taman yang mengenakan selimut ungu. Kubiarkan kesendirian dan sepi,
berkeliaran dan menggoda para pasang sejoli. Jujur saja, aku tak mau mereka
mengganggu percikan cinta yang timbul dalam rasa ini. Cinta. Aku merasakan
geliat cinta paling romantis semenjak jejak tertinggal sebagai bagian tak
terpisahkan dari rumput basah di taman ini. Keberadaan cinta dalamku laiknya
ekspresi paling tulus dari segala rasa yang pernah singgah di rasa. Dia mampu
menjulang tinggi, menjelma sebagai isyarat yang tersirat dalam desir angin yang
turun perlahan di rembang subuh seraya meminta waktu untuk mengabarkan pada
mentari bahwa ia adalah kekasih sejati semesta.
Pada desir sepoi taman aku menggeliat. Nurani dan
sanubari menyediakan ruang bagi parade
sukma. Sebelum segalanya sempat diproyeksi oleh lensa proyektor penglihatan,
aku sudah ditimpali sebuah sosok yang secara kasat mata mirip dengan diri mu.
Hadirnya begitu saja. Tanpa banyak basabasi atau
kata pengatar yang berteletele. Tidak juga seperti ocehan MC (Master of Ceremony) yang sering kita
saksikan dan dengarkan ketika menghadiri resepsi pernikahan anak kepala desa di
kampung kita. Ingatanmu tentunya masih
sempurna. Sesempurna posisi dudukku pada karang berlumut ini. Yakinku kau tidak
pernah melupakan peristiwa yang akhirnya membuatmu beranjak dari desa kita.
Andai saja waktu dapat diputar, aku ingin membuat perdebatan dengan si MC itu. Aku akan mengatakan padanya kalau
pembicaraan sama sekali tidak berfaedah. Setiap tutur kalimatnya dengan
penambahan beberapa kutipan mutiara dari
para penyair itu sangat mirip
kotbah pendeta di saat kedua mempelai
itu mengikrarkan janji suci pernikahannya. Di kesempatan itu, aku akan
mengatakan padanya, tak usah lagi kau berpanjang kata. Sudah terlalu banyak
kata yang beredar di jagad ini. Dan
saking banyaknya kata, orang-orang sudah bosan membaca dan mendengarnya.
Engkau hadir di taman itu. Mengenakan baju yang biasa kau
pakai saat kita duduk di sudut karang ini.
Sontak kedua biji mata ini memperhatikan setiap gerak tingkahmu. Tak mau aku membiarkan sedetik pun keributan
para penjajah minuman dan makanan ringan menyerap ragamu.
Apa boleh buat. Hilir mudik penjajah itu lebih cepat dari gerakan bola
mata sehingga aku kehilangan dirimu.
Kau tahu, aku tak mau menyerah dan pulang dengan
penyesalan. Kutelusuri setiap ruang yang terbentang dalam taman itu. Tak sekali
pun, ku lewati seinci pun. Namun yang ketemui hanyalah wajah-wajah asing dengan
tingkah pongah dan acuhnya. Kemanakah dirimu ? Batinku membatin. Sembunyikah
engkau dariku ? Masih kesalkah dirimu dengan peristiwa di resepsi pernikahan
anak kepala desa itu ? Kalau Aku boleh jujur. Waktu itu aku juga tengah
terjebak dalam persoalan. Aku harus berjuang membebaskan lahan pertanian dari
jerat utang ayah kepada kepala desa kita. Memangku akui, kalau diri ini tak
dapat berperan sebagai sahabat sejati. Kubiarkan dirimu dituduh sebagai
provokator yang membuat onar di acara paling akbar di kampung kita. Padahal,
kita sedang berada di tenda acara, mendengarkan sang MC berceracau tentang kehidupan rumah tangga. Kita juga tidak
melewatkan setiap kata sambutan dari
pihak keluarga kedua mempelai. Terlepas dari kenyataan kita saat itu, sampai
sekarang aku masih bertanya siapa yang memproklamatorkan dirimu sebagai biang
dari keributan itu ?
Keadaan taman itu
kian bersenja. Pendar yang sempat membias di permukaan kolam bertutur kalau
engkau sedang bersembunyi dariku. Bisa
kueja dengan lamat setiap inci warna senja yang tercampur dengan riak air.
Sudah kubaca dengan saksama gemerisik air kolam kalau engkau sesungguhnya
hendak berjumpa, memberikan sapaan khas kita “ haihaihaihai.....senja hanyalah
kisah pelaut di tengah selubung malam.” Dan sejatinya engkau juga tahu, kalau aku
memiliki kemampuan untuk membaca keadaan sekitar. Karenanya, dirimu
meninggalkan pertanda di permukaan kolam. Kenapa kau lakukan ini ? Tak sadarkah
dirimu bahwa tanda bisa menciptakan kegalauan jika ia hanya sebatas tanda ?
Ahh...kau terlalu memelankoliskan keadaan.
Jika
kita sempat berjumpa di senja di taman
itu, mungkin aku sudah menjelaskan panjang lebar tentang alasan kenapa aku
tidak membelamu di saat itu. Tapi, bagaimanapun, cerita itu harus dituturkan.
Meski tidak secara beradu pandang denganmu. Selain karena hendak membebaskan
jeratan hutang, aku juga harus berjuang merebut tampuk pimpinan di pemilihan
kepala desa yang akan diadakan seminggu setelah hajatan anak kepala desa kita.
Seandainya aku mengambil tindakan dengan membela dirimu, tentu saja kedua hal tersebut kini tertinggal sebagai kenangan. Mungkin
juga, keterpurukan akan segera menghampiri aku dan keluarga. Seharusnya kau tahu,
bahwa keputusan untuk tidak berpihak kepadamu adalah strategi untuk menyerang
kepala desa dan aparaturnya kala tampuk kepemimpinan sudah berada di tangan.
Dan kau pun tahu, saat aku menjadi orang nomor satu di desa, kuseret kepala
desa dan anteknya. Ku seret mereka ke meja pengadilan. Sekarang mereka sudah
berada di bui.
Di taman
berpenghuni berpasang sejoli itu, aku begitu tersudut. Bagaimana mungkin,
tingkahmu yang sempat ditangkap penglihatan harus menghilang tak tahu rimbanya.
Kenyatan ini adalah ketersiksaan paling tersiksa yang pernah mendera raga dan
rasa. Pahitnya lebih pahit dibanding melepas kepergianmu beberapa tahun silam. Dan
gemerisik sepoi di ranting kamboja menambah satir realitasku yang lebih
menyakitkan. Dengan terpaksa, pengakuan ku hanya disimak oleh
kesendirian dan sepi.
Aroma
kesalmu menyeruak di antara bau badan para peminta yang berkeliaran di taman
ini. Yakinku, kau sengaja menitipkan bau kesalku kepada para peminta, yang
mungkin saja kau bayar dengan uang recehan. Begitukah caramu membalas dendam? Jika ya, aku bertani bertaruh. Ku bertaruh, Kau
sepenuhnya belum meninggalkan kebiasaan mu yang sering membuat onar di pasar
kampung. Mungkin saja, keributan yang terjadi di acara malam itu adalah caramu
agar anak buahmu bisa mengambil kepala binatang yang tergantung di dapur rumah
kepala desa. Memang kenyataan akhirnya berujung pada kebenaran. Sehari setelah
acara itu digelar, para anak buahmu berpesta di pondok di ujung kampung itu.
Dan usai pesta itu tergelar, engkau menghilang. Sedangkan anak buahmu yang
saban hari berpapasan dengan ku selalu berlalu tanpa sepata kata pun. Bagiku, bisu
adalah pertanda paling fasih kalau mereka menyembunyikan keberadaanmu.
Bagai madu bersari empedu, itulah rasa kopi yang diseduh
oleh penjajah minuman bersepada kumbang. Menyeruput segelas kopi di bawah
tindihan hujan adalah tindakan paling bodoh bagi para penikmat kopi. Andai saja,
sang barista yang telah membangun
kafe filosif kopi tahu kelakuanku, tentu saja aku akan diberi pelajaran
bagaimana cara menyeruput kopi yang baik dan benar.[1] Bodoh amat dengan semua itu ! Yang
penting aku bisa menyeruput kopi ini hingga tandas. Walau cara menyeruput segelas kopi begitu
jauh dari seni menikmati kopi, tapi inilah cara yang kupilih. Tidak ada yang
bisa membantah atau menyalahkan keputusanku. Apalagi dari sisi peralatan dan tempat saja , aku sudah jauh berbeda
dengan para fanatisme kopi. Belum lagi, serbuk kopi yang diseduh itu hanyalah
“sampah” dari serbuk kopi yang telah
dihasilkan oleh berbagai produk kopi di negeri ini. Kalau saja kau tidak
berpaling, tentunya kita bisa menikmati senja ini sembari menyeruput kopi di
bawah runtuhan air.
Kini kau entah di mana. Masih membingkai kenangan dengan
kesal yang menggeliat di rasamu. Sedangkan aku masih di sini, di sudut karang
ini. Masih menunggu terbitnya senja
dengan setangkup harapan bahwa di suatu senja kau akan hadir, memberikan sapaan
khas kita dan bersama bercerita tentang senja. Sang penceramah senja, di manakah dirimu ? Ku rindu. Menantimu bersama
asinnya udara ini. Seandainya kau mendengar elegi ini, datanglah ke sudut
karang, tempat yang dahulu selalu mendengarkan ocehan tentang idealisme dan
mimpimu untuk mengusir para rentenir di kampung kita. Dan, kau harus tahu,
kalau kampung kita semakin dikuasai para rentenir. Aku yang berperan sebagai
kepala kampung saja tidak mampu menghalau tindakan mereka. Aku sangat
membutuhkan kehadiranmu. Ku harap
gelombang pasang akan mengabarkan padamu bahwa di sudut kampung kita masih ada
sebuah hati yang menanti mu. Ia masih berharap engkau melamarnya. Dialah gadis
yang selalu kau temui di setiap senja di sudut karang ini. Di sini, di sudut karang ini, di saat ini,
aku sedang duduk bersamanya, mendengar dirinya berkhayal kalau engkau akan
muncul dari balik deru gelombang itu.
Komentar
Casino at 사천 출장마사지 BOSTON. A world in 통영 출장마사지 the 충주 출장마사지 making. As 충청북도 출장안마 the world's biggest and best-known 세종특별자치 출장마사지 gambling destination, Casino at BOSTON Resort is a place for true