PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (satu)
Kita Perempuan. Bukan wanita seperti yang lainnya.
“Di mana pun
dia, aku ingin memeluknya” rintih Iras dalam hati. Hanya pelukan yang diimpikan
Iras. Tentu saja, bukan sekadar rangkulan atau saling merapatkan tubuh sembari
kedua tangan saling melingkari. Iras ingin lebih. Ia cukup lama merindukan
momen berpelukan.
Setiap memandang potret hitam putih di dinding kamar, kerinduan kian memilin, bahkan seperti paksaan. Beginikah rasanya disengat rindu? Iras kembali memandang potret perempuan 30 tahun yang sejak dirinya mengenal aksara sudah tergantung di dinding kamar. Beberapa kali sudah, ia menurunkan bingkai potret hitam putih itu guna membersihkannya dari debu. Setiap lakon itu pula, sorot mata sang potret menusuk, menembus masuk ke pori-pori tubuhnya. Tatapan tajam kedua bola mata si perempuan seakan memaksa Iras membuka dialog, berkisah tentang dirinya.
Setiap memandang potret hitam putih di dinding kamar, kerinduan kian memilin, bahkan seperti paksaan. Beginikah rasanya disengat rindu? Iras kembali memandang potret perempuan 30 tahun yang sejak dirinya mengenal aksara sudah tergantung di dinding kamar. Beberapa kali sudah, ia menurunkan bingkai potret hitam putih itu guna membersihkannya dari debu. Setiap lakon itu pula, sorot mata sang potret menusuk, menembus masuk ke pori-pori tubuhnya. Tatapan tajam kedua bola mata si perempuan seakan memaksa Iras membuka dialog, berkisah tentang dirinya.
“Aku tidak bisa! Ayah dan kakak nanti bilang aku gila”
bisik Iras.
Semakin berpaling, semakin pula Iras dipaksa memenuhi
permintaan perempuan hitam putih itu.
Haruskah ku penuhi permintaan itu? Inilah gejolak Iris. Didera dilema, ia tak tahu harus berbagi dengan siapa. Kepada ayah. Pastinya tidak mungkin. Ayah akan berkesimpulan kalau aku sedang berkhayal. Memang seperti itu ayah. Selalu memandang pemintaan ku layaknya cerita dari alam tidur. Mungkin Vita bisa mendengar keluhan ku. Apa mungkin? Bukannya dia sendiri selalu acuh setiap kali kuceritakan kegundahan batin.
Haruskah ku penuhi permintaan itu? Inilah gejolak Iris. Didera dilema, ia tak tahu harus berbagi dengan siapa. Kepada ayah. Pastinya tidak mungkin. Ayah akan berkesimpulan kalau aku sedang berkhayal. Memang seperti itu ayah. Selalu memandang pemintaan ku layaknya cerita dari alam tidur. Mungkin Vita bisa mendengar keluhan ku. Apa mungkin? Bukannya dia sendiri selalu acuh setiap kali kuceritakan kegundahan batin.
“Ahhhhh!!!” Iras bingung. (Bersambung)
Komentar