TATANRI

VIII
Mengapa aku begitu pusing dengan urusan surga dan sekitarnya padahal untuk urusan secangkir kopi pun aku begitu susah. Ketika sahabatku pergi untuk mengadakan petualangan menuju ke lembah yang tidak disebutkan namanya maka aku menyibukan diri dengan menulis buku harian. Ketidakpedulianku terhadap kepergiaannya bukan disebabkan oleh kebencian tetapi untuk membiarkan ia mengatur sendiri perlengkapannya sehingga mampu memberikan pelajaran tentang kemandirian. Sehari sebelum keberangkatan kami bersama-sama menikmati senja dari atas pohon mahoni yang tumbuh di kebun belakang rumahku. Kami tahu bahwa senja itu sangatlah dingin tetapi kami tetap naik ke atas pohon karena janji yang telah terjalin sebelum musim dingin tiba.
"Bagaimana acara perpisahan yang kita lakukan ketika salah seorang diantara kita akan pergi?"
"Kita akan duduk di atas pohon mahoni sambil menikmati senja".
"Hanya itu!"
"kita juga akan bercerita dan melukai salah satu ranting pohon untuk menuliskan nama kita".
"Aku tidak ingin melukai pohon"
"Sebelum kita melukainnya maka terlebih dahulu kita mengadakan ritual untuk memohon injin dari roh yang mendiami pohon tersebut".
""okelah kalau begitu".
Itulah pembicaraan yang kami lakukan sebelum ia pergi. Ketika menikmati senja kami menulis nama di salah satu ranting agar ia akan tumbuh dan dijaga oleh pohon tersebut. Nama yang tertera pada ranting itu akan diberi makan oleh pohon sehingga ia akan berkembang bersama dengan pohon tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT