VIRINA

Pada suatu waktu virina pergi menemui kedua sahabat masa kecilnya yang telah berhasil menjinakan impian liar pada masa ketika mereka belum memahami secara baik tentang warna matahari yang berubah kala senja. Mungkin sekarang pun mereka masih bertanya tentang perubahan warna matahari tersebut, tetapi pertanyaan mengenai perubahan warna matahari tersebut telah mampu dijawab dengan baik. Pertemuan selalu dilakukan di pinggir sebuah sungai yang dipenuhi dengan jentik-jentik nyamuk dan orang-orang yang hanya mampu menggenggam gelas-gelas dari bahan keramik dalam mimpinya. Mereka mengadakan pertemuan ketika warna matahari senja benar-benar membangkitkan decak kagum dari orang-orang yang melihatnya, tanpa peduli dia dari status sosial apa. Dalam pertemuan itu mereka menceritakan segala hal yang berhubungan dengan perubahan warna matahari tersebut. Namun Virina tidak pernah bercerita atau berbicara mengenai perubahan warna matahari tersebut, ia hanya duduk dan mendengarkan para sahabatnya mengajukan pandangannya. Pembicaraan mengenai warna matahari tersebut sangat menggairahkan, terkadang menimbulkan bantahan dari salah satu sahabatnya jika sahabatnya yang lain mengajukan pendapat yang sangat bertentangan dengan pendapatnya. Tidak mengherankan bahwa pembicaraan atau lebih tepat jika dikatakan sebagai diskusi mereka berujung pada pertengkaran kecil sebab masing-masing orang berusaha untuk mempertahankan pendapatnya. Virina hanya tersenyum ketika menyaksikan para sahabatnya saling menunjukan jari ke wajah satu sama lain.
Orang-orang yang mendengar pembicaraan mereka akan berpikir bahwa mereka merupakan kumpulan orang gila yang berusaha untuk menggulai sungai agar dapat dijadikan minuman pada senja yang kemerahan. Bagaimana mereka dapat memahami alur pembicaraan dari Virina dan sahabat-sahabatnya jika alur pembicaraan yang muncul dalam keseharian hanya seputar air sungai yang berwarna hitam dan mengenai kumpulan plastik-plastik sampah yang berkeliaran di atas permukaan sungai. Kehadiran Virina dan para sahabatnya dianggap sebagai mahluk asing yang datang dari planet lain. Hal ini berdasarkan pakaian yang dikenakan oleh Virina dan para sahabatnya.

Kadangkala mereka secara diam-diam menguping pembicaraan itu kemudian akan menceritakan kepada masyarakat ketika malam mulai merambat di atap rumah. Mereka yang berkumpul akan mendengarkan dengan serius setiap kata yang terucap dari mulut si penguping. Setelah menyelesaikan ceritanya maka ia mengajak para pendengar untuk mendiskusikan cerita tersebut. Setiap orang yang hadir seakan-akan bertingkah layaknya para mahasiswa semester satu jurusan filsafat yang sedang berdiskusi tentang sejarah filsafat Yunani kuno meskipun hanya sebatas pada mengagumi para filsuf. Pembicaran yang terjadi tidak pernah menyentuh inti cerita, biasanya mereka akan memanggil seorang peramal untuk menjelaskan arti yang tersembunyi dari cerita tersebut. Namun ia pun hanya mampu mengatakan bahwa orang-orang yang selalu berkumpul itu merupakan hantu-hantu yang tidak mendapat tempat di alamnya sehingga mereka selalu berkumpul di pinggir sungai untuk merencanakan agar sungai tersebut dapat dijadikan tempat tinggal. Maka ia mengajak semua penduduk untuk melengkapi diri dengan air yang akan ia berikan.
“Tetapi kita tidak perlu meresahkan kehadiran mereka sebab air yang akan kuberikan merupakan perpaduan dari sembilan mata air yang mengalir di sembilan gunung. Dengan air itu mereka tidak mampu untuk merasuki kalian sehingga mereka akan semakin merasakan penderitaan”. Pembicaraan ini berahkir ketika kayu-kayu bakar telah habis dilalap oleh api.

Pada matahari yang berwarna kemerahan dengan kabut tipis yang naik dari sungai Virina dan para sahabatnya hanya mampu untuk menatapanya sambil berpikir keras untuk memecahkan persoalan tentang perubahan warna matahari tersebut. Cukup lama membenamkan diri dalam kebisuan maka Virina mengajak para sahabatnya untuk membicarakan segala kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Ketika mendengar ajakan Virina untuk menceritakan kegiatan sehari-hari maka mereka kembali bergairah. Salah seorang sahabatnya yang berwajah agak ke-indoan dengan mata oval bercerita tentang hari-hari yang dilewatinya dengan memainkan piano. Namun pembicarannya dipotong oleh sahabatnya yang berkata dengan memaksakan intonasi suaranya agar terdengar lebih mempesona dan menimbulkan kesan bahwa ia keturunan dari kaum penemu peradaban.

“Saya melewati keseharian diantara harum kamboja, bagiku tidak ada keharuman lain yang melebihi keharumannya. Kamboja merupakan tanaman yang merelakan dirinya untuk meninggalkan dunia kembang untuk menyelamatkan saudaranya yakni edelweis yang dilahirkan ketika bulan berseteru dengan matahari. Perseteruan ini mengakibatkan bulan harus merelakan dirinya untuk menyinari jagat dengan sinar yang muncul hanya sebagian dari waktu ke waktu dan pada akhirnya membenamkan diri dalam pelukan matahari”.
Sahabatnya yang selalu berkutat dengan piano menyelanya; bagaimana mungkin perubahan warna matahari disebabkan oleh perseteruan di antara bulan dan matahari?

“Sahabatku janganlah terlalu membiarkan dirimu untuk beristirahat ketika cahaya matahari tepat di atas ubun-ubun kepala. Engkau harus mengetahui bahwa cerita yang kau utarakan itu adalah perpaduan antara cerita dari nenek moyang dengan khayalan siangmu. Maka aku akan mengatakan padamu cerita yang sesungguhnya tentang perubahan warna matahari senja. Ketika para petinggi langit sedang duduk menikmati perjamuan, mereka mendengar suara piano yang dimainkan oleh salah seorang anak manusia. Nada-nada yang dihasilkan oleh anak itu begitu menambah gairah makan dari para petinggi langit sehingga hidangan yang biasanya tidak dapat dihabiskan mampu mereka habiskan. Namun dentingan piano itu tidak mampu didengar dengan baik. Hal ini dikarenakan oleh matahari menyerap semua nada yang dihasilkan oleh piano tersebut. Kelakuan matahari ini dinilai sebagai sebuah penghianatan sehingga mereka mengutuknya untuk tidak setia kepada salah satu warna. Bagiku kutukan ini merupakan berkat bagi matahari sebab keindahan akan semakin menampakan wajahnya dan menempatkan warnanya sebagai salah satu keindahan yang tak akan lekang oleh waktu. Lihatlah aku yang mengabdikan seluruh hidupku untuk bermain piano agar matahari semakin menyerap alaunan musik yang kuhasilkan. Dengan demikian para petinggi langit semakin mengutuknya”.
Virina kembali tersenyum karena tingkah dari kedua sahabatnya yang mengembalikan topik pembicaran kepada persoalan warna matahari. Lantas ia berjalan menyusuri pinggiran sungai sembari melemparkan bebatuan ke tengah sungai yang menimbulkan riak-riak kecil di atas permukaan air. Kedua sahabatnya masih melanjutkan perdebatan sehingga kepergiannya tidak dihiraukan.
“Mengapa mereka selalu mempermasalahkan warna matahari senja?”
“Pembicaraan merekapun terkesan sangat dangkal dan jauh dari kesan intelektual”.
“Apakah mereka terlahir dengan keterbatasan pemikiran?”
“Sepertinya tidak!”
“Sebab mereka terlahir dengan mata malaikat dan keharuman mawar selalu setia menyertai pertumbuhan mereka”.
“Lantas apa yang salah dengan pertumbuhan mereka?”
“Pada masa ketika warna matahari masih dilihat dengan decak kagum tanpa menimbulkan pertanyaan atasnya, mereka tidak pernah terlibat dalam pembicaraan sedemikian bodoh. Malahan mereka akan mengambil kanvas untuk melukiskan keindahan matahari senja tersebut. Sepertinya aku harus menyadarkan kedua sahabat itu tentang kesalahan yang telah mereka lakukan”.
“Apakah mereka akan mendengarkan suara dari orang yang hanya menikmati nasi jagung ini?”
Suara anak-anak yang bermain di sekitar aliran sungai menyadarkan Virina bahwa ia telah melangkah cukup dari kedua sahabatnya. Dari kejauhan ia menatap kedangkalan pikiran sahabat-sahabatnya.

Senja telah mengundurkan diri dari pandangan mata ketika Virina tiba di tempat kedua sahabatnya. Mereka masih tenggelam dalam perdebatan seakan-akan persoalan itu harus terselesaikan jika tidak akan menimbulkan mimpi buruk kala malam menempatkan mereka dalam pelukannya. Tanpa berbasa-basi Virina menarik kedua tangan sahabatnya dan mengajak mereka untuk meninggalkan segala perdebatan itu. Saat melangkahkan kaki di atas rumput kering para penduduk mengikuti gerak langkah mereka layaknya para pengintai yang hendak mengetahui tentang keadaan sebuah desa sebelum mengadakan penyerangan. Sekembalinya Virina dan kedua sahabatnya maka para penduduk mengucapkan terima kasih kepada sang peramal yang telah membebaskan mereka dari genggaman hantu-hantu yang kesepian. Virina duduk di kamarnya sembari memikirkan pembicaraan dari kedua sahabatnya. Menurutnya perdebatan dan cerita dari kedua sahabatnya merupakan akibat dari kekaguman mereka terhadap pekerjaan yang digeluti. Ia berkata kepada dirinya bahwa perubahan warna matahari senja diakibatkan oleh tumbuhan yang telah lelah untuk mencari persedian air bagi dirinya sehingga mencoba untuk mengambil cadangan air yang terdapat dalam pusat matahari. Karena matahari tak sanggup untuk bertahan dari gempuran ribuan tumbuhan maka ia akan bersedih ketika mencapai senja. Virina akhirnya puas dengan jawabannya dan menganggap kedua sahabatnya sebagai manusia yang hanya mampu bercerita tentang khayalannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DI ANTARA CAHAYA

PEREMPUAN DI LORONG WAKTU (LIMA)

GADIS DENGAN BIOLA COKLAT