KAMAR 21
Memang benar bahwa salju yg telah mencair tersebut akan mengalir menuju ke lautan sebab kesanalah ia harus mengalir, tetapi harus diingat bahwa ia adalah salju. Lautan tidak akan pernah bersedia menerima sosok yang akan membekukan sebagian dari dirinya".
"Bagaimana mungkin lautan begitu membenci salju yang telah mencair tersebut, bukankah salju merupakan bagian air yang berubah wujud karena proses pembekuan? Ketahuilah; lautan akan menerima salju yang telah mencair tersebut sebab telah menjadi takdir dari lautan untuk menampung segala air yang mengalir kepadanya. Bukankah lautan terbentuk dari segala air yang barsatu?" begitulah aku menanggapi pernyataan dari sahabatku.
Menyadari bahwa argumen yang dikemukannya menemukan jalan buntu maka rona wajahnya berubah menjadi merah. Ia hanya terdiam, sambil memutar-mutar sebatang rokok yang mulai hancur karena kemarahan yang timbul. ruangan yang menjadi tempat pembicaraan kami terasa begitu panas, padahal pendingin ruangan masih tetap menyala. Apa yang harus kulakukan?
Ia masih tetap terdiam, adakah abjad meninggalkan nalarnya? atau kemarahan yang menari-nari dalam nalar?
pertanyaan bodoh; tentu saja kemarahan yang sedang menggerogoti dirinya, itu berarti ia kecewa dengan kalimat-kalimat yang terucap dari bibirku.
Menurut penuturan dari beberapa rekan sekerjanya, sahabatku sangat mudah tersinggung dan selalu yakin bahwa pernyataan yang diucapkannya merupakan suatu kebenaran mutlak. Tidak segan-segan juga ia akan mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan pernyataannya. Pernah pada suatu kesempatan pertemuan, ia melempari pemimpin rapat yang adalah pimpinannya dengan gelas kaca. Persolannya adalah pemimpin menilai bahwa pernyataannya sangat tidak menguntungkan perusahan. yah....begitulah sahabatku.
Aku sedang diliputi ketakutan yang luar biasa besar(bersambung)
"Bagaimana mungkin lautan begitu membenci salju yang telah mencair tersebut, bukankah salju merupakan bagian air yang berubah wujud karena proses pembekuan? Ketahuilah; lautan akan menerima salju yang telah mencair tersebut sebab telah menjadi takdir dari lautan untuk menampung segala air yang mengalir kepadanya. Bukankah lautan terbentuk dari segala air yang barsatu?" begitulah aku menanggapi pernyataan dari sahabatku.
Menyadari bahwa argumen yang dikemukannya menemukan jalan buntu maka rona wajahnya berubah menjadi merah. Ia hanya terdiam, sambil memutar-mutar sebatang rokok yang mulai hancur karena kemarahan yang timbul. ruangan yang menjadi tempat pembicaraan kami terasa begitu panas, padahal pendingin ruangan masih tetap menyala. Apa yang harus kulakukan?
Ia masih tetap terdiam, adakah abjad meninggalkan nalarnya? atau kemarahan yang menari-nari dalam nalar?
pertanyaan bodoh; tentu saja kemarahan yang sedang menggerogoti dirinya, itu berarti ia kecewa dengan kalimat-kalimat yang terucap dari bibirku.
Menurut penuturan dari beberapa rekan sekerjanya, sahabatku sangat mudah tersinggung dan selalu yakin bahwa pernyataan yang diucapkannya merupakan suatu kebenaran mutlak. Tidak segan-segan juga ia akan mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan pernyataannya. Pernah pada suatu kesempatan pertemuan, ia melempari pemimpin rapat yang adalah pimpinannya dengan gelas kaca. Persolannya adalah pemimpin menilai bahwa pernyataannya sangat tidak menguntungkan perusahan. yah....begitulah sahabatku.
Aku sedang diliputi ketakutan yang luar biasa besar(bersambung)
Komentar