MEMELUK KEBINGUNGAN (part 1)
Aku menulis kisah ini saat nyanyian burung senja mulai terdengar sayup-sayup, saat para petani memanggul pacul dengan mengenakan pakaian kerja yang telah dilukis oleh lumpur-lumpur sawah. Aku menuliskannya dengan tinta hijau sebab hijau melambangkan penantian, lihatlah pohon sangat indah karena ditudungi oleh lembar-lembar hijau namun akan berguguran ketika kemarau menaburkan bubuk terik lewat matahari bulan Mei sampai September. Meskipun ia berguguran dan sangat buruk rupa namun angin musim oktober-april akan mengembalikan lembaran-lembaran hijau dan menghapus kesedihan di pelupuk matanya. Aku yang menulis akan berkisah tentang dia yang terlintas dalam symphoni dari sungai. Ini bukan duplikasi atau persamaan jiwa dari symphoninya Bethoven yang melahirkannya dari malaikat dengan gendang telinga yang tertutup. Symphoni sungai juga bukan susunan notasi dari sebuah lagu atau susunan irama dari bilah-bilah bambu. Ia merupakan perpaduan dari gita lembah dan erangan padang pasir. Tentu saja, sulit untuk dicerna oleh pendengaran normal seorang manusia, juga sulit untuk dinotasikan oleh Mozart untuk keperluan orkestranya. Ia memang tidak diperuntukan untuk dikonsumsi secara masal.
Jika hendak mendengarkan symphoninya maka harus melepaskan keseharian; dimana menanggalkan mahkota di kepala dan melepaskan sebutir padi dari hasil panen. Aku juga belum pernah mendengarkan symphoni tersebut. Yah….bagaimana mungkin aku dapat mendengarkannya sedangkan aku adalah manusia normal. Apakah ia diperuntukan untuk kaum cacat?
Mungkin saja.
Lantas; “mengapa aku menghabiskan energi untuk menuliskannya?”
Mungkin pada suatu titik aku akan mendengarkan symphoni tersebut. Aku harus menuliskannya meskipun aku belum pernah mendengarkannya.
Semakin tengelam dalam tulisan, semakin pula aku menemukan kebahagian yang selama ini hanya hadir dalam mimpi siangku. Tulisan ini mampu menarik aku untuk menekuninya mungkin ia memintaku untuk mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Apakah aku telah terjebak dalam percintaan dengannya? Dihadapannya segala cinta membuncah dan menunjukan dirinya. Mereka hadir dalam seribu wajah yang membingungkan tapi ada kebahagian. Apa yang aku tuliskan? Tanyaku pada jemari yang bergerak di atas keyboard komputer. Bertanya padanya namun kebisuan yang ditampakan.
“Harus bagaimana?”
Daripada harus merepotkan diri dengan pertanyaan, sebaikanya aku mencoba untuk menuliskan keadaan-keadaan yang terbalut ketika symphoni sungai membuncah. Disinipun masih muncul pertanyaan; bagaimana aku mendengarkannya?
Biarkan saja pertanyaan itu muncul; yang terpenting aku mencoba untuk menuliskan segala sesuatu yang muncul dari suatu penafsiran dan bayangan terhadap symphoni sungai.
Aku mengawali bayangan terhadap symphoni sungai dengan membentangkan segala sesutau yang dapat berhubungan dengan symphoni tersebut. Layaknya seorang penulis; mulai dari membayangkan suatu obyek kemudian menyusun alur dan akhirnya menuliskan objek tersebut dalam bentuk cerita. Memang untuk menuliskan cerita tentang symphoni sungai berawal dari suatu kebingungan sebab tidak ada fakta dan bukti-bukti yang kumiliki masih bersifat khayalan. Jika pada suatu saat ceritaku dihadapakan ke meja pengadilan maka aku akan menderita kekalahan. Sudah pasti hukuman penjara menjadi keputusannya. Entah lima tahun atau bisa jadi seumur hidup.
Tempat kejadian symphoni sungai pasti berada di sekitar aliran sungai atau berada di suatu gedung. Mungkin lebih baik aku memutuskan suatu tempat, jika seperti ini akan menambah kerumitan dalam menata pikiran. Symphoni sungai terjadi di sekitar aliran sungai. Suatu gambaran yang muncul pertama pada umumnya mendekati kebenaran, teringat akan perkataan seorang sahabat pada pertengahan musim panen di tahun kemarin. Kami berdua sedang memanen jagung di kebun milik ayahnya ketika seorang wanita melintas di hadapan kami. Dari paras dan pakaian yang dikenakan dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berasal dari keluarga yang mapan dengan berhektar-hektar kebun jagung. Sepintas memandang lekuk tubuhnya memyebabkan segala rasa tertuju padanya. Tentu; ekspresi yang kutampakan akan terkesan aneh dan membingungkan sahabatku.
“matahari begitu terik, sebaiknya kita beristirahat sebentar sambil menyantap menu siang”. Mendengar suaranya aku terbangun dari khayalan tentang gadis yang melintasi pematang kebun. “jika memang terik siang telah menyerap semua nutrisi yang kita masukan pada saat sarapan pagi mungkin lebih baik kita beristirahat” aku menimpali ajakannya. Mungkin ia menertawakan keadaanku dan kalimat yang terucap dari mulutku yang terkesan sangat formal layaknya seorang pengacara memberikan jawaban atas pertanyaan dari hakim agung. Apakah ia mengetahui keadaanku yang sebenarnya? Tentu akan ada penyelidikan darinya ketika kami beristirahat. Sahabatku memang sangat peka terhadap setiap ekspresi yang aku timbulkan. Pernah aku membutuhkan uang untuk membayar tagihan dari desa. Saat itu aku hanya pasrah sebab aung yang kubutuhkan untuk membayar tagihan tersebut tidak diperoleh. Terpaksa kebun jagung yang berseberangan dengan kebun ayahnya ini aku gadai kepada desa. Kejadian ini tidak aku ceritakan kepadanya, ketika bersamanya pun aku selalu bersikap seperti biasanya. Penduduk desa juga tidak mengetahui kejadian itu sebab aku meminta para aparat desa untuk menyembunyikan perihal ini. Para aparat itupun menyetujui permintaanku sehingga kami mengadakan perjanjian, jika aku membocorkannya maka kebun itu sepenuhnya menjadi milik desa dan aku juga harus membayar denda sebanyak seratus ikat jagung. Jika pihak desa yang membocorkan persoalan itu maka kebun jagung itu dapat aku ambil kembali beserta tunjangan untuk tidak membayar pajak selama sepuluh tahun.
Sahabatku yang berwajah oval dengan hidung agak lebar ini sangat peka dengan keadaan yang melingkupi aku. Oh…..aku harus lanjutkan lagi cerita tentang aku dan para pemimpin desa. Setelah mengadakan kesepakatan dengan para pemimpin desa yang terkesan ditator tapi tidak sediktator Soeharto yang menjadikan negara ini seperti permainan catur. Satu lagi para pemimpin yang memerintah di desaku selalu bertameng di balik kekuasan sehingga para penduduk hanya terdiam menyaksikan drama yang mereka bentuk dan lakoni. Sepertinya aku telah keluar dari tema ceritaku dan alur yang kususunpun telah menjadi kacau. Jujur….aku bingung untuk melanjutkan cerita ini, apakah aku harus berhenti disini? Apakah aku harus membiarkan cerita ini terpuruk dalam kesendiriannya? Padahal ia menghendaki agar dilanjutkan. Mungkin aku harus menghentikan cerita tentang para pemimpin desa yang hanya memenuhi lembaran dan menimbulkan kelelahan pada jemari. Tidak mungkin juga aku membiarkan para pemimpin desa dalam ketergantungan ceritanya. Sebaiknya aku melanjutkannya meskipun dalam kenelangsaan alur. Yah……setting ceritaku agak lemah, ditambah lagi dengan penokohan yang kurang mendapatkan porsinya. Daripada aku mengoceh tentang hal-hal teknis dalam menulis, sebaiknya kulanjutkan cerita ini.
Sahabatku bernama Duran, seorang yang memiliki kemampuan yang sangat peka dalam mendeteksi keadaan hati dan pikiran dari orang lain. Aku yang pada waktu itu sedang dalam kekacuan karena kebun jagung yang aku gadai kepada desa. Dihadapannya, persoalan yang sedang menghantui hari-hari tidak pernah aku perlihatkan dihadapannya. Aku selalu bersikap normal ketika berhadapan dengannya. Memang pepatah sepandai-pandainya dan sebijaksannya bank Swiss menyembunyikan rahasia dari kliennya tentu pada suatu saat akan ketahuan juga.
“Daren, apakah kemarin engkau menanam benih di antara kabut dan asap?”
“maksudnya apa Ran?” ketika aku menimpali pertanyaannya, ia malahan mengajukan kepadaku sebuah pertanyaan. “adakah kecerahan kabut mampu menunjukan atau menyingkapkan warna pohon willow yang tersembunyi dibaliknya? Daren, jika kemarin mata sayumu masih menyiratkan kecerahan matahari tetapi senja ini, mata sayumu mengenakan tenunan yang dibuat oleh kabut.”
Duran memberikan pertanyaan yang terkesan sangat membingungkan, dari pertanyaan-pertanyaannya aku ditempatkan pada ketersudutan dan tidak memberikan kesempatan padaku untuk membela diri.
Jika hendak mendengarkan symphoninya maka harus melepaskan keseharian; dimana menanggalkan mahkota di kepala dan melepaskan sebutir padi dari hasil panen. Aku juga belum pernah mendengarkan symphoni tersebut. Yah….bagaimana mungkin aku dapat mendengarkannya sedangkan aku adalah manusia normal. Apakah ia diperuntukan untuk kaum cacat?
Mungkin saja.
Lantas; “mengapa aku menghabiskan energi untuk menuliskannya?”
Mungkin pada suatu titik aku akan mendengarkan symphoni tersebut. Aku harus menuliskannya meskipun aku belum pernah mendengarkannya.
Semakin tengelam dalam tulisan, semakin pula aku menemukan kebahagian yang selama ini hanya hadir dalam mimpi siangku. Tulisan ini mampu menarik aku untuk menekuninya mungkin ia memintaku untuk mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Apakah aku telah terjebak dalam percintaan dengannya? Dihadapannya segala cinta membuncah dan menunjukan dirinya. Mereka hadir dalam seribu wajah yang membingungkan tapi ada kebahagian. Apa yang aku tuliskan? Tanyaku pada jemari yang bergerak di atas keyboard komputer. Bertanya padanya namun kebisuan yang ditampakan.
“Harus bagaimana?”
Daripada harus merepotkan diri dengan pertanyaan, sebaikanya aku mencoba untuk menuliskan keadaan-keadaan yang terbalut ketika symphoni sungai membuncah. Disinipun masih muncul pertanyaan; bagaimana aku mendengarkannya?
Biarkan saja pertanyaan itu muncul; yang terpenting aku mencoba untuk menuliskan segala sesuatu yang muncul dari suatu penafsiran dan bayangan terhadap symphoni sungai.
Aku mengawali bayangan terhadap symphoni sungai dengan membentangkan segala sesutau yang dapat berhubungan dengan symphoni tersebut. Layaknya seorang penulis; mulai dari membayangkan suatu obyek kemudian menyusun alur dan akhirnya menuliskan objek tersebut dalam bentuk cerita. Memang untuk menuliskan cerita tentang symphoni sungai berawal dari suatu kebingungan sebab tidak ada fakta dan bukti-bukti yang kumiliki masih bersifat khayalan. Jika pada suatu saat ceritaku dihadapakan ke meja pengadilan maka aku akan menderita kekalahan. Sudah pasti hukuman penjara menjadi keputusannya. Entah lima tahun atau bisa jadi seumur hidup.
Tempat kejadian symphoni sungai pasti berada di sekitar aliran sungai atau berada di suatu gedung. Mungkin lebih baik aku memutuskan suatu tempat, jika seperti ini akan menambah kerumitan dalam menata pikiran. Symphoni sungai terjadi di sekitar aliran sungai. Suatu gambaran yang muncul pertama pada umumnya mendekati kebenaran, teringat akan perkataan seorang sahabat pada pertengahan musim panen di tahun kemarin. Kami berdua sedang memanen jagung di kebun milik ayahnya ketika seorang wanita melintas di hadapan kami. Dari paras dan pakaian yang dikenakan dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berasal dari keluarga yang mapan dengan berhektar-hektar kebun jagung. Sepintas memandang lekuk tubuhnya memyebabkan segala rasa tertuju padanya. Tentu; ekspresi yang kutampakan akan terkesan aneh dan membingungkan sahabatku.
“matahari begitu terik, sebaiknya kita beristirahat sebentar sambil menyantap menu siang”. Mendengar suaranya aku terbangun dari khayalan tentang gadis yang melintasi pematang kebun. “jika memang terik siang telah menyerap semua nutrisi yang kita masukan pada saat sarapan pagi mungkin lebih baik kita beristirahat” aku menimpali ajakannya. Mungkin ia menertawakan keadaanku dan kalimat yang terucap dari mulutku yang terkesan sangat formal layaknya seorang pengacara memberikan jawaban atas pertanyaan dari hakim agung. Apakah ia mengetahui keadaanku yang sebenarnya? Tentu akan ada penyelidikan darinya ketika kami beristirahat. Sahabatku memang sangat peka terhadap setiap ekspresi yang aku timbulkan. Pernah aku membutuhkan uang untuk membayar tagihan dari desa. Saat itu aku hanya pasrah sebab aung yang kubutuhkan untuk membayar tagihan tersebut tidak diperoleh. Terpaksa kebun jagung yang berseberangan dengan kebun ayahnya ini aku gadai kepada desa. Kejadian ini tidak aku ceritakan kepadanya, ketika bersamanya pun aku selalu bersikap seperti biasanya. Penduduk desa juga tidak mengetahui kejadian itu sebab aku meminta para aparat desa untuk menyembunyikan perihal ini. Para aparat itupun menyetujui permintaanku sehingga kami mengadakan perjanjian, jika aku membocorkannya maka kebun itu sepenuhnya menjadi milik desa dan aku juga harus membayar denda sebanyak seratus ikat jagung. Jika pihak desa yang membocorkan persoalan itu maka kebun jagung itu dapat aku ambil kembali beserta tunjangan untuk tidak membayar pajak selama sepuluh tahun.
Sahabatku yang berwajah oval dengan hidung agak lebar ini sangat peka dengan keadaan yang melingkupi aku. Oh…..aku harus lanjutkan lagi cerita tentang aku dan para pemimpin desa. Setelah mengadakan kesepakatan dengan para pemimpin desa yang terkesan ditator tapi tidak sediktator Soeharto yang menjadikan negara ini seperti permainan catur. Satu lagi para pemimpin yang memerintah di desaku selalu bertameng di balik kekuasan sehingga para penduduk hanya terdiam menyaksikan drama yang mereka bentuk dan lakoni. Sepertinya aku telah keluar dari tema ceritaku dan alur yang kususunpun telah menjadi kacau. Jujur….aku bingung untuk melanjutkan cerita ini, apakah aku harus berhenti disini? Apakah aku harus membiarkan cerita ini terpuruk dalam kesendiriannya? Padahal ia menghendaki agar dilanjutkan. Mungkin aku harus menghentikan cerita tentang para pemimpin desa yang hanya memenuhi lembaran dan menimbulkan kelelahan pada jemari. Tidak mungkin juga aku membiarkan para pemimpin desa dalam ketergantungan ceritanya. Sebaiknya aku melanjutkannya meskipun dalam kenelangsaan alur. Yah……setting ceritaku agak lemah, ditambah lagi dengan penokohan yang kurang mendapatkan porsinya. Daripada aku mengoceh tentang hal-hal teknis dalam menulis, sebaiknya kulanjutkan cerita ini.
Sahabatku bernama Duran, seorang yang memiliki kemampuan yang sangat peka dalam mendeteksi keadaan hati dan pikiran dari orang lain. Aku yang pada waktu itu sedang dalam kekacuan karena kebun jagung yang aku gadai kepada desa. Dihadapannya, persoalan yang sedang menghantui hari-hari tidak pernah aku perlihatkan dihadapannya. Aku selalu bersikap normal ketika berhadapan dengannya. Memang pepatah sepandai-pandainya dan sebijaksannya bank Swiss menyembunyikan rahasia dari kliennya tentu pada suatu saat akan ketahuan juga.
“Daren, apakah kemarin engkau menanam benih di antara kabut dan asap?”
“maksudnya apa Ran?” ketika aku menimpali pertanyaannya, ia malahan mengajukan kepadaku sebuah pertanyaan. “adakah kecerahan kabut mampu menunjukan atau menyingkapkan warna pohon willow yang tersembunyi dibaliknya? Daren, jika kemarin mata sayumu masih menyiratkan kecerahan matahari tetapi senja ini, mata sayumu mengenakan tenunan yang dibuat oleh kabut.”
Duran memberikan pertanyaan yang terkesan sangat membingungkan, dari pertanyaan-pertanyaannya aku ditempatkan pada ketersudutan dan tidak memberikan kesempatan padaku untuk membela diri.
Komentar
tulisan engko punya mengingatkan kita sama Leo Tolstoy...coba engko baca Ana karenina...korang 2 punya bakan sama le...sosialis yg humanis..keren
Tapi kalau boleh usul, jaraknya diperhatiin dong.. biar gak capek mata membacanya.
Apalagi aku mampir ini dg mata yg masih bengkak karena sakit mata... :D